Press "Enter" to skip to content

Dari Ngabuburit, Goyobod, Sampai Cunihin…

Last updated on March 31, 2022

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) IV Dibedah di Bentara Budaya

SEKARANG para penulis ataupun wartawan tak perlu lagi memiringkan kata ngabuburit dan goyobod saat menyusun artikel ataupun berita. Hal ini karena kedua kata yang berasal dari bahasa Sunda tersebut sudah resmi menjadi lema (entri) ataupun sublema pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Edisi Keempat yang terbit belum lama ini. Tahun terbitnya (yang resmi) 2008 tetapi baru diluncurkan ke pasaran sekitar Januari 2009.

Masuknya ngabuburit dan goyobod sebagai lema ataupun sublema pada KBBI IV dikemukakan Ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM) T.D. Asmadi saat menyampaikan sambutan pada acara Bedah Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat di Bentara Budaya Jln. Palmerah Selatan 17 Jakarta, Selasa, 24 Februari 2009 lalu. Ya, begitu terbit, KBBI IV langsung dibedah oleh para ahli, pemerhati, peminat, dan pengguna bahasa Indonesia. Mereka antara lain para insan pers, guru, dan para akademisi.

Para pembicara pada acara itu adalah Prof. Bambang Kaswanti Purwo (Guru Besar Linguistik Universitas Katolik Atmajaya Jakarta), Meity Taqdir Qodratillah (Kepala Subbidang Perkamusan dan Peristilahan Pusat Bahasa), Dumaria (guru SMAN 55 Jakarta), Tri Agung Kristanto dan Galih Smarapradhipa (Kompas). Acara ini berlangsung menarik, apalagi Dr. Felicia Nuradi Utorodewo, pakar bahasa dari Universitas Indonesia, bertindak sebagai pemandu. T.D. Asmadi sendiri menyumbangkan makalah yang tidak disampaikan di depan forum.

Setelah dicek di KBBI IV, lema goyobod tercantum di halaman 461 dengan kelas kata nomina. Goyobod (Sd) berarti minuman, dibuat dari tepung kanji dicampur dengan agar-agar yang diiris persegi, dan dicampur dengan avokad, sirop, dan es. Avokad adalah nama bahasa Indonesia untuk alpukat. Sementara ngabuburit berstatus sublema dari lema burit (sore) dan tercantum di halaman 226. Ngabuburit (Sd) berarti menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan. Pada halaman 226 ini masih ada lema burit dengan arti lain, yakni bagian belakang, yang salah satu bentuk turunannya adalah buritan.

Kata kabita pun sudah dimuat sebagai lema di halaman 597 KBBI IV dengan kelas kata verba (kata kerja). Kabita (Sd) berarti tertarik dan menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dialami orang lain. KBBI IV memberi contoh kalimat, melihat orang lain makan enak, kita suka kabita. Dengan demikian, semakin banyak saja kosakata bahasa Sunda yang memperkaya bahasa Indonesia.

Pada lema goyobod dan sublema ngabuburit, penyusun KBBI IV tetap mencantumkan embel-embel “(Sd)” yang berarti kata-kata ini berasal dari bahasa Sunda. Hal ini dimaksudkan agar identitas atau asal usul suatu kata tetap bisa dilacak. Jadi unsur kesejarahan kata senantiasa diperhatikan, terutama bila menyangkut kata yang berasal dari bahasa daerah. Itulah sebabnya para ahli bahasa pun senantiasa menempatkan awalan, sisipan, dan akhiran dalam identitas atau posisi yang jelas karena akan mempermudah kita mengetahui sejarah pembentukan suatu kata. Hal ini pernah dikemukakan Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono kepada penulis saat berbincang di Bandung, beberapa waktu lalu.

Hal berbeda terjadi pada kata bahasa Sunda lain yang sebenarnya sudah dikenal luas, yakni keukeuh dan kadeudeuh. Belum diketahui, apa penyebab kedua kata itu belum dicantumkan sebagai lema ataupun sublema. Apakah mungkin karena mengandung vokal “eu” sehingga tidak semua kalangan bisa mengucapkannya dengan mudah? Bila dilihat dari sudut jangkauan pemakaian, tampaknya kedua kata itu sudah dipakai kalangan luas, tidak hanya warga (Jawa Barat) yang berbahasa Sunda. Dengan demikian, perlu dipertanyakan apakah studi tentang jangkauan pemakaian kata itu sudah dilakukan dengan optimal?

Bobotoh

Kata bobotoh misalnya, selama ini selalu dan hanya dikaitkan dengan suporter Persib. Belum pernah disebut atau ditulis bobotoh Persija atau bobotoh Persebaya. Dengan demikian, jangkauan kata ini terbatas. Ternyata, kata bobotoh sudah masuk sebagai lema dan dimuat di halaman 202 KBBI IV.

Masuknya kata-kata dari bahasa daerah boleh jadi merupakan jawaban Pusat Bahasa atas kritik yang menyebutkan mengapa lema-lema dalam KBBI banyak menyerap atau mengadopsi kata-kata bahasa asing. Dr. Felicia sendiri saat menjadi pemandu acara itu menyebutkan, pengembangan kosakata selama ini terlalu banyak melibatkan kata serapan dibandingkan dengan kata dari khazanah bahasa sendiri. Dengan demikian, langkah memasukkan kata-kata bahasa daerah ini selayaknya dihargai. Namun, muncul juga pertanyaan apa ukuran atau syarat yang membuat kata bahasa daerah itu bisa menjadi lema ataupun sublema dalam KBBI? Apa mungkin karena sering disebut atau ditulis media massa atau ada faktor lain? Kata-kata baru lainnya pada KBBI IV yang berasal dari bahasa Sunda adalah aom (halaman 79), cunihin (halaman 280), gurandil (halaman 468), dan jatnika (halaman 570).

Bentukan baru

Pada KBBI IV juga muncul bentukan baru dari lema yang sudah ada. T.D. Asmadi mencontohkan kata mengkritisi sebagai bentukan (baru) dari kata kritis yang artinya menganalisis secara tajam, berusaha menemukan kesalahan atau kebenaran; mencermati. Pada KBBI III bentuk turunan dari lema kritis hanya mengkritis dan kekritisan. Dengan demikian, kini kata mengkritik dan mengkritisi bisa digunakan.

Fenomena masuknya beberapa kata baru juga mendapat perhatian seorang guru yang menjadi peserta pada acara Bedah KBBI IV itu. Masuknya kata ciamik (halaman 266) dan doku (halaman 338) misalnya, berpeluang menyulitkan guru dalam pengajaran bahasa Indonesia karena selama ini kedua kata itu dikelompokkan sebagai bahasa gaul atau bahasa slang (dibaca sleng).

Penambahan lema yang begitu banyak pada KBBI IV mendapat kritik dari Prof. Bambang Kaswanti Purwo yang juga Ketua Dewan Guru Besar Unika Atmajaya Jakarta. Menurut dia, tidak semua kata yang berkembang di masyarakat harus masuk kamus, termasuk KBBI IV. Kata-kata yang dimasukkan ke kamus besar harus benar-benar dipilih sehingga kamus itu tetap memiliki nilai tinggi, seperti Webster Dictionary yang dikenal sebagai kamus baku. KBBI selama ini dikenal sebagai kamus pemakai(an). Bambang menyarankan, untuk bidang-bidang tertentu sebaiknya dibuat kamus khusus. Meity Taqdir Qodratillah menyebutkan, segala masukan dari para ahli akan dijadikan bahan perbaikan untuk penyusunan KBBI selanjutnya.

Di tengah berbagai kekurangannya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejak edisi I sampai edisi IV adalah karya besar yang patut dihargai. Terkait masih adanya kekurangan dalam KBBI IV ini, Meity mengutip kata-kata bijak Rudolf Dreikers yang kalau diterjemahkan berbunyi, “Hasil karya yang sempurna, tak ada dalam realitas. Ia hanya ada dalam impian.”

Imam Jahrudin Priyanto, Redaktur Bahasa “Pikiran Rakyat”
Sumber: Pikiran Rakyat, Minggu 29 Maret 2009

error: Content is protected !!