Press "Enter" to skip to content

Twit atau Cuitan? Perlukah Obsesi atas Bahasa Asli?

Last updated on January 20, 2019

Budaya tidak bersifat kaku dan eksak. Budaya adalah entitas yang cair, lentur, fleksibel, dan memiliki kemampuan hebat untuk merembes ke mana-mana. Karena itulah suatu budaya mampu melakukan aksi-aksi penyusupan, memengaruhi budaya-budaya lain, juga menyerap apa-apa dari siapa pun di luar rumahnya.

Karena itulah, hari ini kita merasa wajar-wajar saja mengenakan kaus oblong, kemeja, celana panjang, juga sepatu. Mungkin pada dua abad silam orang-orang di sekitar kita masih melihat dengan tatapan risih ketika seorang lelaki Jawa, misalnya, tidak mengenakan kain sebagai bawahan, dan tidak memakai destar sebagai penutup kepala. Sepatu, apalagi. Lebih wajar pada zaman itu orang bercakar ayam saja, atau mereka di kelas sosial tinggi menggunakan selop.

Di zaman ini, yang terjadi sebaliknya. Hampir semua orang memakai kaus dan celana panjang atau pendek. Mata kita justru melirik ganjil saat melihat seorang pemuda berjalan-jalan di mal memakai kain dan bertelanjang dada. Kalaulah ada seorang gadis manis berkebaya dan bersanggul lengkap dengan reronce bunganya, kita pasti berpikir hari itu Hari Kartini. Atau gadis tersebut mau pergi kondangan.

Proses sejarah dan persentuhan beraneka ragam budayalah penyebab perubahan kesan tersebut. Suatu masyarakat dengan karakter tradisi yang khas bersentuhan dengan budaya-budaya lain. Walhasil, terjadilah tukar-menukar, saling memengaruhi, pinjam-meminjam tanpa bunga, juga pemaksaan karena dominasi budaya dari pihak yang lebih kuat.

Dengan pemahaman mekanisme seperti itu, kita semestinya sadar bahwa tidak ada budaya yang 100% asli. Obsesi atas keaslian sebuah budaya hanya akan menjatuhkan kita ke dalam sikap jumud nan tertutup, enggan berbaur, dan waham bahwa budaya kita mandiri sepenuhnya tanpa membutuhkan “bantuan” budaya-budaya lainnya.

Nah, bahasa merupakan sebuah produk budaya. Sebagai produk budaya, tentu bahasa juga mengikuti sifat, karakter, dan “cara kerja” budaya. Dinamika dalam budaya secara umum tentu saja sangat memengaruhi bahasa.

Ambil contoh, dulu orang tidak mengucapkan kata ‘advokat’. Sistem peradilan dalam masyarakat monarki-feodal tidak mengenal fungsi penasihat hukum. Hakim atau bahkan raja membedah sebuah perkara secara sepihak, lalu menjatuhkan vonisnya. Setelah kolonial datang, sistem hukum Belanda yang menetapkan fungsi penasihat hukum sebagai bagiannya mengenalkannya kepada masyarakat kita. Maka hadirlah advocaat, yang belakangan diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘advokat’. Dalam kasus ini, sistem hukum Belanda kita jalankan, istilahnya kita ambil, dengan sedikit penyesuaian yang lebih enak untuk lidah kita.

Istilah ‘pengacara’ memang bisa menggantikan ‘advokat’, tetapi KBBI tetap mengakomodasi kedua lema tersebut secara resmi. Saya bahagia menyadarinya, sebab meski ‘pengacara’ terasa lebih asli Indonesia, sesungguhnya secara konseptual kata tersebut tetap bukan merupakan anak kandung budaya Nusantara yang “asli”.

Contoh-contoh lain berjibun banyaknya. Kata ‘terjemah’, misalnya, diserap dari kata Arab ‘tarjamah’. Sependek yang saya pahami, dalam tradisi baca-tulis kuno masyarakat Nusantara, tidak ada aktivitas pengalihbahasaan. Untuk memahami sebuah teks, orang belajar kepada guru-guru mumpuni yang memahami bahasa dalam teks tersebut. Belum pernah saya dengar adanya aktivitas penerjemahan secara tertulis.

Maka, kata ‘terjemah’ diserap dari bahasa Arab, karena dunia Arab memang sangat getol dalam aktivitas tersebut. Satu contoh paling klasik dalam sejarah adalah bagaimana perpustakaan Baitul Hikmah pada zaman Dinasti Abbasiyah melakukan penerjemahan gila-gilaan atas teks-teks Yunani. Hal-hal semacam itu tidak dimiliki oleh sejarah Nusantara, bukan?

Oleh sebab itu, menyerap kata ‘terjemah’ adalah langkah jitu, dan sama sekali bukan merupakan aib bahasa Indonesia. Meskipun muncul pula istilah ‘alih bahasa’, toh KBBI masih dengan resmi memajang kata ‘terjemah’ sebagai salah satu lema di dalamnya. Bahkan harus jujur kita akui, kata ‘terjemah’ lebih banyak kita gunakan dalam percakapan sehari-hari ketimbang ‘alih bahasa’. Betul, kan?

Dari contoh-contoh tersebut, saya bersyukur ketika KBBI menerima lema ‘twit’ dan mengakuinya sebagai bagian dari khazanah baru bahasa Indonesia. Kita tidak perlu memaksa diri memakai kata ‘cuitan’. Twitter muncul di Internet, bukan merupakan produk “budaya asli” Nusantara, dan karena itu lebih baik kita menyerap saja istilah-istilah dari jagat maya yang sudah kadung menjadi bagian dari bahasa yang hidup di tengah masyarakat penutur.

Dari situ juga saya ingin bertanya, kenapa di saat yang sama KBBI berpayah-payah meresmikan kata ‘mancakrida’ sebagai pengganti ‘outbond’? Apakah itu bukan sebentuk langkah yang buang-buang energi tanpa membawa hasil yang berarti?

Bayangkan saja, kita ingin menyelenggarakan acara outbond, lalu memasang poster digital di laman Facebook dengan kalimat iklan “Ayo Bergabung dalam Mancakrida di Lereng Merapi”. Atau bisa juga secara lisan, kita mengajak teman, “Eh, Rin, Sabtu depan ikutan mancakrida yuk!”

Lihat, berapa orang yang mengerti? Jika ternyata sangat sedikit orang mengerti, bukankah artinya istilah ‘mancakrida’ gagal menjalankan fungsi komunikasi dalam masyarakat penutur bahasa Indonesia, dan karena itu ia gagal pula menjadi bagian dari bahasa Indonesia?

Mari renungkan sekali lagi. Jika bosan merenung, selingilah dengan berjalan-jalan ke luar rumah, lalu ikutilah mancakrida, eh, outbon tanpa huruf d.

 

 

Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.

error: Content is protected !!