Last updated on January 20, 2019
Barangkali pendapat saya ini salah. Namun saya kira, kita tidak bisa menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa yang ilmiah. Bahkan semua bahasa di muka bumi ini tidak ilmiah.
Salah satu syarat sesuatu bisa dinilai sebagai ilmiah adalah sifatnya yang objektif dan terukur. Sementara, bahasa tidak terikat kepada fakta-fakta keras objektif. Bahasa bersifat subjektif, tergantung kesepakatan sesama penutur bahasa, sehingga subjektivisme yang berjalan adalah subjektivisme dalam sudut pandang subjektivisme komunal para penutur bahasa.
Saya resah memikirkan soal objektivisme itu karena teringat ungkapan ‘matahari tenggelam’ atau ‘matahari terbenam’. Kita mengatakan matahari tenggelam di senja hari, saat pergantian antara siang dan malam. Sejak kecil kita mengucapkannya dengan wajar, sambil menyanyikan lagu “Burung Hantu” yang penggubahnya tak dikenal itu:
Matahari terbenam hari mulai malam
Terdengar burung hantu suaranya merdu
Kukuk kukuk kukuk kukuk kukuk
Dengan ungkapan ‘matahari terbenam’ yang melekat permanen di bawah sadar kanak-kanak kita, kita tidak lagi peduli akan makna harfiah klausa tersebut meskipun kita mulai belajar ilmu alam. Padahal, dalam pelajaran IPA, kita diajari untuk memahami cara kerja tata surya. Bahwa Bumi berotasi, bahwa Matahari berotasi sekaligus berevolusi, dan bahwa siang dan malam terjadi hanya karena perubahan posisi bagian Bumi terhadap Matahari, semua kita pelajari.
(Cermati, saya bingung untuk menentukan apakah kata bumi dan matahari mesti dituliskan dengan huruf depan kapital ataukah tidak. Itu akan jadi materi diskusi kita di lain waktu, bukan di sini.)
Pendek kata, sejak SD kita sudah paham secara rasional dan objektif bahwa Matahari tidak pernah tenggelam. Adapun malam merayap datang karena bagian Bumi tempat kita berpijak ini pelan-pelan bergeser dalam rotasi, lalu kehilangan akses kepada sinar Matahari.
Lantas, kenapa kita masih saja dengan percaya diri menyebut ‘matahari tenggelam’?
Kasus matahari terbenam atau tenggelam ini tiba-tiba mengingatkan saya juga kepada satu istilah dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa, serangga di jalanan yang beterbangan di senja hari dan rentan membuat mata kita kelilipan saat berkendara itu disebut samber mata atau samber moto. Penyambar mata, begitu kira-kira artinya.
Nama samber moto itu sungguh julukan yang tidak memenuhi rasa keadilan. Coba bayangkan, hewan -hewan itu sesungguhnya melayang dengan damai-damai saja, TTS alias terbang-terbang sore bersama keluarga, tanpa sedikit pun tendensi untuk mengganggu manusia. Hanya karena manusia lewat, menabrak mereka, lalu satu dua ekor masuk ke mata, maka dengan semena-mena manusia menyebutnya samber moto! Padahal kita tahu pasti, situasi objektif yang terjadi justru adalah manusia yang menyambar mereka! Bukan mereka yang menyambar mata manusia!
(Saya kira para pejuang hak-hak hewan harus bergerak ke Mahkamah Internasional untuk menuntut penghapusan nama samber moto.)
Oke, kembali lagi ke ‘matahari tenggelam’. Tidak ada matahari tenggelam, yang ada cuma Bumi yang berputar. Ungkapan ‘matahari tenggelam’ sama sekali tidak ilmiah, malah berpihak kepada para penganut Teori Bumi Datar. Namun ternyata ungkapan itu tetap hidup dan secara sah dituturkan dalam bahasa Indonesia. Itulah satu bukti kecil bahwa bahasa Indonesia tidak sepenuhnya bersifat ilmiah.
Ah, namun ada sesuatu yang lebih dalam daripada penjelasan di atas. Begini. Ungkapan ‘matahari tenggelam’ hanyalah cerminan sifat bangsa manusia yang egois dan mau menang sendiri. Kita dengan seenaknya menuduh sesuatu pergi meninggalkan kita, padahal sesungguhnya kita sendirilah yang berpaling darinya. Cieee….
(IAD)
Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.