Last updated on August 8, 2020
Sebagai penulis, sebetulnya saya merasa malu dengan bahasa Indonesia saya. Padahal saya orang Indonesia asli . Dalam pengertian, lahir dan dibesarkan di Indonesia. Akan tetapi perbendaharaan kata-kata saya dalam percakapan sehari-hari sangat dipenuhi oleh ‘aksen pribadi’. Personal preference. Yang mana sangat dipengaruhi dari lingkungan keluarga dimana saya dibesarkan.
Keluarga nenek dari pihak ibu, misalnya. Sebagai keturunan Belanda, mereka masih menggunakan kata “ikj” dan “Jij” menggantikan “Aku” dan “Kamu”. Sementara dari keluarga almarhum ayah yang masih keturunan Sumatra, penggunaan kata “Tidak” menjadi “Ndak” dalam pengucapannya. “Tahu” menjadi “Tau”. Akhirnya bukan hanya dalam pengucapan saja yang berbeda, dalam penulisanpun mengikuti pengucapan.
Ada lagi kata-kata tertentu yang maknanya berubah untuk saya pribadi. Misalnya untuk mengungkapkan rasa “sayang” , saya cenderung menggunakan kata “Nak” – kependekan dari kata “anak”. Jangan ditanya kenapa saya punya kecenderungan seperti itu. Mungkin karena sayang sama anak, maka rasa sayang terungkapnya dengan kata-kata “Nak”. Bahkan untuk mengungkapkan rasa sayang pada suami, suamipun kadang saya sebut “Nak”. Misalnya “Jangan begitu dong ‘Nak… “
Karena itu situs Bahasa Kita ini menarik buat saya untuk memahami fenomena-fenomena berbahasa Indonesia. Ejaan yang baik dan benar seolah-olah berperang dengan berbagai bahasa daerah, aksen dan dialek yang sudah mendarah daging di tanah air. Belum lagi dengan bermunculannya bahasa-bahasa preman atau grup-grup tertentu. Bahasa para banci misalnya. “Sudah” menjadi “sutra”. Aku menjadi “akikah” dan sebagainya dan sebagainya.
Di Canada, saya berusaha mengajarkan anak-anak berbicara bahasa Indonesia. Atau sedikitnya mengerti dan memahami. Tapi pada kenyataannya, ketika kami sekeluarga berlibur ke tanah air, anak-anak saya tidak bisa mengerti sama sekali pembicaraan dengan orang Indonesia. Sebab bahasa yang digunakan sehar-hari tidak sama dengan yang mereka pelajari atau baca di buku-buku formal.
Akhir kata, fenomena kaidah tata bahasa yang berbeda dalam penerapannya sehari-hari, bukan hanya terjadi di Indonesia saja. Di luar negeripun sama. Contohnya di Canada, di mana bahasa resminya adalah bahasa Inggris. Saat ini yang sedang ramai diperbincangkan adalah bahasa ‘SMS’ alias bahasa yang digunakan untuk mengirim pesan singkat melalui telepon selular. Semua serba disingkat. “You” dipersingkat menjadi “U”. Pada pengucapannya tetap sama, hanya penulisannya yang berbeda. Kalau di kilas balik, kita jadi bertanya-tanya sendiri akhirnya. Kalau memang pengucapannya “U” mengapa harus menjadi “You” di penulisannya? Bukankah itu pemborosan huruf?
Pada dunia koresponden pemborosan satu atau dua huruf dalam sebuah kata, bisa membengkak jadi ribuan huruf dalam sebuah surat atau tulisan, bukan? Kalau surat atau tulisan itu di cetak, artinya juga pemborosan tinta. Pemborosan kertas. Dan karena kertas itu menggunakan sumber daya alam, akhirnya pemborosan ‘huruf’ bisa dibilang tidak ‘ramah lingkungan’. Menurut hemat saya, bahasa Indonesia lebih praktis dan mudah dipelajari daripada bahasa Inggris. Karena kita tidak memiliki pola ‘past tense’, ‘present’ dan “future tense” . Dalam tata cara penulisannya pun lebih irit karena apa yang ditulis adalah apa yang diucapkan. Semua huruf yang ditulis dalam sebuah kata dibutuhkan untuk pengucapannya. Karena itu bolehlah kita sebagai orang Indonesia berbangga hati sedikit.