Last updated on January 20, 2019
“Lo, tadi pakai ‘aku’ ngomongnya, kok sekarang ganti ‘saya’?”
Jihan Davincka, pesohor dunia maya itu, bertanya kepada suaminya. Mereka sekeluarga tengah beranjangsana ke Jogja, dan saya menjumpai mereka. Di saat saya berbincang seru dengan sang suami itulah, Jihan sedikit memotong dengan pertanyaan usil itu.
“Ngg.. ya, biar lebih sopan aja hehehe,” Bang Dani, sang suami, menimpali.
Hmm… biar lebih sopan. Saya rasa itulah alasannya kenapa terasa aneh jika kita mendengar anak-anak muda mengucapkan ‘aku’ untuk menyebut diri mereka. Namun, betulkah ini cuma perkara kesopanan?
Secara objektif, saya dan aku sebenarnya sama saja, yaitu sesama kata ganti orang pertama tunggal. Ketika dimasukkan ke dalam kalimat, misalnya “Saya sedang makan” atau “Aku sedang makan”, tidak ada perbedaan sedikit pun pada struktur kedua kalimat tersebut. Yang berbeda benar-benar cuma pada wilayah nilai rasa.
Saya memang terkesan lebih formal. Dalam surat-surat resmi, misalnya, ketika penulis surat hendak menunjuk dirinya sendiri, ia memakai saya, bukan aku. Di masa lalu, kata ganti saya dalam surat resmi ini malah “dihaluskan” lagi menjadi kami, meskipun si penulis sedang menyebut orang pertama tunggal. Hal yang sama terjadi pada tuturan verbal, yakni pada pidato-pidato resmi.
Nah, berbeda halnya dengan aku. Aku tidak pernah muncul dalam tulisan-tulisan resmi. Lain kalau surat yang ditulis adalah surat informal, seperti surat cinta, atau surat-menyurat antara dua sahabat pena. Di situ, kata aku pantas dituliskan. Bukankah dalam relasi antara dua sahabat atau sepasang kekasih tidak terlalu dituntut sopan santun yang berlebih?
Poinnya, benar sekali bahwa ini urusan sopan santun. Meskipun demikian, saya rasa ada alasan lain di samping perkara tata krama, yaitu keberjarakan. Jarak di sini adalah jarak psikologis. Saya ambil contoh, dalam karya sastra. Novel, misalnya. Ketika si pengarang menulis novelnya dalam sudut pandang orang pertama, lazimnya dia memakai aku, bukan saya. Ini sedikit menyelisihi pandangan awal tentang sopan santun tadi. Bukankah pengarang tidak kenal dekat dengan pembacanya? Kalau begitu, kenapa berani-beraninya dia menuliskan aku di novelnya? Itu tidak sopan!
Di sinilah mulai tampak bahwa sopan-santun bukan satu-satunya pertimbangan. Seorang pengarang tidak sedang menghadapi sebuah hubungan sosial yang mensyaratkan sopan-santun. Yang dia jalankan adalah teknik berbahasa yang bisa membuat tokoh dalam novelnya memiliki kedekatan khusus dengan pembaca, membuat pembaca tak lagi berjarak dengan tokoh rekaan itu, bahkan dalam beberapa sisi si pengarang ingin agar pembaca mengidentikkan diri mereka sendiri dengan si tokoh khayali.
Contoh lainnya adalah bahasa kitab suci. Dalam terjemahan kitab suci Alquran (karena saya muslim dan yang saya pahami cuma Alquran), seorang nabi yang berdoa atau berdialog dengan Tuhan tidak menggunakan kata saya, melainkan aku. Apakah berarti dia tidak sopan kepada Tuhan? Tentu bukan begitu. Situasi psikologis yang berjalan adalah kedekatan, yakni kedekatan antara Sang Nabi dengan Tuhan. Saya rasa itulah alasannya kenapa penerjemah kitab suci menerjemahkan ana dalam bahasa Arab dengan aku, bukan saya.
Di zaman ini, batasan antara ekspresi tertulis dan lisan seringkali kabur. Pesan-pesan pendek sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, demikian pula media sosial. Dengan situasi seperti ini, kita kerap tanpa sadar mencampuradukkan antara kata ragam resmi dengan ragam cakap, bahkan antara kata yang sopan dengan kata yang kurang sopan.
Akibatnya, sangat sering kita mendengar anak-anak muda mengucapkan aku kepada orang yang belum cukup akrab dengannya, atau dengan orang-orang tua. Bahkan dalam sebaran kabar lewat grup Whatsapp, saya pernah melihat gambar tangkapan layar seorang mahasiswa berkata aku kepada dosennya.
Pada hari ini, tentu yang demikian tidak dapat diterima. Kesan tidak sopan atas pengucapan aku masih sangat terasa. Artinya, apa yang dijalankan oleh mahasiswa tersebut termasuk perilaku berbahasa yang tidak baik, alias tidak sesuai dengan situasi dan kondisi.
Adapun jika suatu hari nanti lambat laun ucapan aku menjadi berterima dan dianggap sopan-sopan saja oleh mayoritas masyarakat penutur bahasa Indonesia, tentu itu pun tidak akan menjadi masalah pada masanya.
Tapi jangan lupa, kita hidup di hari ini, bukan di masa depan.
(IAD)
Tentang penulis: Iqbal Aji Daryono adalah bapak dua anak, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Ia mengawali kedekatannya dengan dunia teks sejak masa kuliah, yakni ketika menjadi redaktur bahasa di pers mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Selepas kuliah, empat tahun dijalaninya sebagai penyunting di sebuah penerbit buku-buku pelajaran untuk anak sekolah, lalu empat tahun setelahnya lagi ia menjalankan bisnis penerbitannya sendiri. Saat ini, aktivitas utamanya adalah menulis kolom di media-media daring.
Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.