Last updated on January 20, 2019
Ketika saya masih menjadi mahasiswa di University of California, Berkeley, di Amerika Serikat, saya oleh seorang antropolog saya diminta untuk bercerita tentang jenis permainan anak-anak di Banten, tempat kelahiran saya. Ketika saya menyanyikan lagu daerah yang digunakan dalam permainan tersebut, ada bagian yang kemudian mampu membuat kita trans atau kesurupan. Permainan tersebut bercerita tentang kamanting, seekor lebah kecil yg berpura pura mengejar teman teman lebah lainnya. Agar kita betul betul mampu berperan seperti lebah itu, maka kita dibuat trans atau kesurupan. Ketika antropolog tersebut meminta saya menterjemahkan arti lagu itu, saya sampaikan pada beliau bahwa jangankan ibu saya, nenek saya pun belum tentu tahu, apalagi saya. Sampai sekarang lagu itu masih ada, tapi tidak ada yang tahu apa artinya dan kenapa mampu menimbulkan trans. Punahnya bahasa daerah Banten membawa serta kepunahan budaya yang khas daerah tersebut.
Demikian juga Ninik Towok di Jawa atau bahasa-bahasa daerah lainnya yang dipakai untuk upacara adat, belum tentu generasi sekarang mengerti maknanya.
Di Indonesia terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa dimana tiap kelompok etnik memiliki beberapa bahasa daerah. Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan RI 1945 telah menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi antar suku, termasuk bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan anak bangsa di sekolah-sekolah dan universitas-universitas di seluruh Indonesia. Bahasa Indonesia juga bahasa yang resmi digunakan oleh pemerintah daerah seluruh Indonesia. Hasilnya, dari Sabang sampai Merauke seluruh rakyat Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesialah yang mempersatukan Indonesia.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran bahasa Indonesia ikut mendesak punahnya bahasa daerah. Di Indonesia ada 746 bahasa ibu, tapi dari tahun ke tahun jumlahnya berkurang. Di Papua, dulu ada 273 bahasa daerah. Kini menjadi 271 bahasa. Di Sumatra, jumlah bahasa daerah berkurang, dari 52 bahasa menjadi 49 bahasa. Sementara di Sulawesi, bahasa daerah berkurang dari 116 bahasa menjadi 114 bahasa. Menurut hasil penelitian UNESCO, ke punahan bahasa ibu terbanyak terjadi di Indonesia. Punahnya bahasa ibu bisa menyebabkan punahnya budaya karena setiap bahasa memiliki istilah yang erat dengan tradisi dan budaya lokal.
Banyak istilah daerah ini sangat unik yang belum tentu dapat diterjemahkan begitu saja ke bahasa daerah lain atau ke bahasa Indonesia apalagi ke bahasa Inggris. Pengetahuan lokal tentang flora, fauna, alam sekitar, tradisi, seni dan budaya setempat banyak terekam dalam istilah atau bahasa daerah. Jika bahasa daerah punah maka kita akan kehilangan local wisdom dan sumber informasi lokal yang sangat penting.
Ketika saya mengamati peta mulai dari Hawaii, New Zealand hingga Indonesia Timur, saya berpikir, sebetulnya apakah yang menyatukan ras melayu polynesia di seluruh pacific. Ternyata kata ‘wa’. Di wilayah pacific ini banyak sekali tempat yang memiliki nama dengan awalan wa. Contohnya, Waingapu, Wakatobi, Wamena, Wanaka, Vanuatu, Wanganui, Waikiki, Wainaku dan lain=lain. Kata ‘wa’ ini pasti ada artinya yang berkaitan dengan wilayah polynesia.
Jadi keberadaan bahasa daerah selayaknya disejajarkan kepentingannya dengan bahasa Indonesia. Artinya seorang putera daerah Papua tidak hanya harus menguasai bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan suku bangsa lain tapi juga bahasa daerahnya. Karena kelangsungan bahasa daerah ada di tangan putera-putera daerah. Dan yang terakhir adalah juga menguasai bahasa Inggris agar mampu melakukan diplomasi internasional.