Last updated on August 8, 2020
Dalam bahasa percakapan informal sehari-hari mencampur kosakata asing, bahasa daerah dan bahasa slang ke dalam percakapan kita adalah sesuatu hal yang spontan, lumrah dan tidak perlu dipermasalahkan. Orang menyebutnya bahasa gado-gado. Simak saja ucapan seorang mahasiswi swasta di bawah ini:
“Tahu nggak? Ternyata si Susi diem-diem udah ‘married’ lho sama Benny. Soalnya kan si Benny musti ambil ‘Master’ ke Amrik dan dia mau Susi juga ikut. Daripada musti ‘long distance relationship’, takut Susi ‘cheating’ katanya. Mereka ‘take off’ besok malem soalnya ‘flight’ ke LA adanya hari itu dan jam segitu. ‘Stop over’ sekali di Hong Kong kayaknya. Sampe sana pasti pada ‘jet lag’. Tapi mereka sih enaklah, udah disiapin ‘apartment’ sama bokapnya Benny. Mudah-mudahan Susi nggak ‘boring’ tuh nemenin Benny di sana, soalnya dia nggak bakal ngapa-ngapain, paling-paling ‘shopping’. Gue mau ke rumah Susi nanti malem mau ‘say bye-bye’. Mau ikut?.”
Sejak runtuhnya pemerintah orde baru gejala menyelipkan kosakata asing sudah mulai mempengaruhi wacana lisan formal dan banyak dilakukan para intelektual seperti diucapkan Mohamad Sobari, seorang jurnalis, dalam suatu wawancara radio:
“Gus Dur memerlukan ‘transitional period’, saya kira ‘something like three years or so’ untuk itu … MPR yang anggota-anggotanya sangat ‘selfish’, sangat ‘group oriented’ dan berfikir tentang ‘short term projects’.” (Sumber: The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society, Dr. James Sneddon).
Pada acara “Temu Nasional 2009” pada tanggal 30 Oktober yang lalu ada seorang wartawan yang iseng-iseng menghitung jumlah kosa-kata bahasa Inggris yang digunakan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono di dalam pidatonya. Dalam pidato sekitar 65 menit tersebut, tercatat ada 73 kosakata bahasa Inggris yang dilontarkannya.?Artinya setiap satu menit terlontarlah kosakata bahasa Inggris itu. Bahkan Presiden Yudhoyono juga memadukan kosakata Inggris dengan Indonesia sekaligus ketika menjelaskan adanya kemacetan dalam berbagai hal,”Banyak hal yang masih ada di-“debottlenecking” ini yang harus diselesaikan,” katanya. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Patutkah penggunaan kosakata bahasa Inggris di dalam pidato seorang presiden Republik Indonesia dipermasalahkan? Kelompok yang pro berpendapat bahwa menggandeng kosakata asing ke dalam wacana lisan formal tidak perlu dipermasalahkan karena bahasa Indonesia masih kekurangan kosakata yang mampu menjelaskan apa yang dimaksud dalam pidato tersebut. Lagi pula bahasa Inggris adalah bahasa komunikasi internasional. Sudah saatnya semua orang mampu berbahasa Inggris. Jadi jika saudara-saudara kita di Papua tidak mengerti isi pidato presidennya, salah sendiri. Mengapa tidak belajar bahasa Inggris. Kalau mau maju harus belajar bahasa Inggris.
Bagi kelompok yang kontra, penggandengan istilah asing di dalam banyak wacana formal dan resmi menunjukkan betapa bahasa Inggris pelan-pelan sudah menggeser posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Sebetulnya seberapa pentingkah peranan bahasa bagi suatu bangsa dan negara? Mungkin ada baiknya kita menegok sebentar sejarah bahasa Indonesia dan melihat sikap negara-negara lain terhadap bahasa nasionalnya.
Di jaman penjajahan Belanda, kesempatan pendidikan untuk rakyat Indonesia hanya diberikan pada anak-anak kalangan atas. Tujuannya adalah supaya kalangan kelas atas ini pada gilirannya mampu membantu pemerintah Belanda dalam hal pelayanan masyarakat. Akibatnya pada masa itu kalangan terdidik yang pandai berbahasa Belanda menjadi kalangan elite Indonesia. Bahasa Belanda digunakan oleh kaum elite pribumi sebagai sarana komunikasi antar mereka sehari-hari. Termasuk para nasionalis, calon-calon pemimpin bangsa seperti bung Karno dan bung Hatta. Bung Karno bahkan berkata, “Bahasa Belanda adalah bahasa yang saya gunakan jika saya berpikir, mengumpat bahkan berdoa”.
Namun para calon pemimpin ini menetapkan bahasa Indonesia – yang berakar dari bahasa Melayu dan merupakan bahasa yang sama sekali belum berkembang – sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia pada kongres Sumpah Pemuda tahun 1928. Mengapa bukan bahasa Belanda? Padahal bahasa Belanda sudah menjadi bahasa komunikasi modern yang sudah beratus-ratus tahun digunakan sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan. Banyak sekali buku-buku ilmu pengetahuan yang ditulis dalam bahasa Belanda. Dari segi struktur dan tata bahasa pun sudah mapan. Jawabannya jelas. Para calon pemimpin itu menyadari bahasa Belanda adalah simbol penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Secara politis penggunaan bahasa Belanda dapat menghambat atau menghalangi kemerdekaan Indonesia yang justru sedang diperjuangkan. Bahasa Indonesia adalah lambang nasionalisme. Selain merupakan keputusan politis, bahasa Indonesia juga merupakan keputusan sosial karena hanya bahasa Indonesia yang dipercaya memiliki kekuatan untuk mempersatukan Indonesia. Walaupun bung Karno belum seratus persen merasa nyaman dengan bahasa Indonesia yang masih baru, namun jika harus berpidato di depan rakyat beliau selalu menggunakan bahasa Indonesia.
Hal serupa juga terjadi dengan bahasa Indonesia di Timor Timur. Ketika wilayah Timor Timur resmi memisahkan diri dari Republik Indonesia, pemerintah Timor Timur menetapkan bahasa Portugis sebagai bahasa nasional mereka. Padahal penelitian yang dilakukan oleh Asia Foundation pada tahun 2001 menunjukkan 63% rakyat Timor Timur lancar berbahasa Indonesia namun hanya 3% yang mendukung bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Timor Timur. Hal ini karena bahasa Indonesia dianggap sebagai simbol penjajahan dan kebrutalan Indonesia terhadap rakyat Timor Timur. Sebuah reaksi emosional untuk menentang sesuatu yang berbau Indonesia. Jadi walaupun sebagian besar penduduk Timor Timur tidak mengenal bahasa Portugis dan merasa kesulitan harus mempelajari lagi bahasa yang baru, bagi rakyat Timor Timur bahasa Portugis adalah simbol kemerdekaan dan nasionalisme. Kini, walaupun bertetangga dengan Indonesia, mereka lebih suka belajar bahasa Inggris sebagai bahasa kedua ketimbang bahasa Indonesia.
Sebelum Mary Donaldson, wanita dari kalangan kebanyakan Australia, menikah dengan Pangeran Frederik dari Denmark, ia diharuskan mempelajari dulu budaya , bahasa dan etiket Denmark karena dalam acara-acara kenegaraan nantinya Mary harus mampu berbicara dalam bahasa Denmark. Padahal bahasa Inggris adalah bahasa kedua yang sangat dikuasai oleh sebagian besar rakyat Denmark.
Bahasa sesungguhnya adalah wacana dan sarana komunikasi budaya sebuah bangsa. Bahasa mencerminkan inti, karakter, ciri dan semangat sebuah budaya. Bahasa seperti sebuah gerbang yang memudahkan kita untuk masuk dan mengerti budaya suatu bangsa. Secara teknis memang mudah menterjemahkan suatu kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain, namun untuk menterjemahkan sikap dan nilai budaya suatu bangsa tidaklah semudah itu. Karena kosakata bahasa suatu negara mencerminkan budaya bangsa tersebut yang tidak dapat diterjemahkan begitu saja ke bahasa lain.
Boyé Lafayette De Mente, jurnalis, penulis, dan editor yang pernah menjadi anggota agen intelejensia Amerika ini telah menulis lebih dari 50 buku tentang kaitan bisnis, budaya dan bahasa di Jepang, Cina, Korea dan Meksiko. Dalam bukunya “Japan Unmasked: The Character And Culture Of The Japanese” Boyé menulis bahwa pada awalnya bahasa Jepang digunakan sebagai benteng pertahanan untuk mencegah masuknya orang asing. Di jaman pemerintahan Tokugawa mengajarkan bahasa Jepang pada orang asing bahkan merupakan pelanggaran berat. Hingga kini, bahasa Jepang sangat berkaitan erat dengan proses berpikir dan tingkah laku orang Jepang. Sehingga jika ada orang asing yang fasih berbahasa Jepang tanpa bertingkah laku seperti orang Jepang akan dianggap tidak menghargai budaya Jepang dan tidak bisa dipercaya.
Dengan berakhirnya sistem monarki di Perancis, bahasa Perancis tidak hanya menjadi simbol identitas nasional bagi orang Perancis tapi juga lambang kejayaan budaya dan imperialisme di masa lalu. Presiden Perancis Georges Jean Raymond Pompidou (tahun 1969 hingga 1974) bahkan mengatakan bahwa, ”Karena bahasa Perancislah negara Perancis dipandang oleh dunia sebagai negara bukan sekedar suatu negara .” Anatole France, penyair Perancis pemenang hadiah Nobel sastra pada tahun 1921 mengumpakan bahasa Perancis sebagai sesosok wanita yang cantik, penuh percaya diri, rendah hati, berkepribadian kuat, luhur, hangat dan seksi, sehingga siapa pun yang mengenalnya akan jatuh cinta sepenuh hati.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sebagai bahasa komunikasi internasional, bahasa Inggris semakin penting untuk dipelajari dalam era globalisasi saat ini. Presiden Perancis Nicolas Sarkozy kini bahkan mewajibkan anak-anak usia sekolah untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Indonesia pun tidak ketinggalan. Berbondong-bondongnya orang-orang Indonesia mendirikan sekolah dengan label internasional dengan pengantar bahasa Inggris adalah suatu fenomena yang menggembirakan. Karena kini, sekolah internasional tidak lagi menjadi monopoli orang asing. Ada kesetaraan akses bagi anak-anak Indonesia guna memperoleh pendidikan berkualitas internasional dengan harga yang lebih terjangkau. Kesempatan untuk belajar bahasa kedua yaitu bahasa Inggris kini terbuka lebar. Sayangnya, hal ini malah menghasilkan bahasa gado-gado.
Mencampur bahasa Indonesia dengan kosakata bahasa Inggris yang sepotong-sepotong sehingga menjadi bahasa gado-gado ke dalam wacana formal dan tulisan tidak akan membawa bangsa Indonesia menjadi masyarakat dwibahasawan yang terdidik. Jika hal ini dibiarkan maka akan makin sedikit orang Indonesia yang mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Berkurangnya pengguna bahasa Indonesia pelan-pelan akan mengikis identitas bangsa dan menggerogoti kelestarian budaya Indonesia. Pada saat yang sama kemampuan masyarakat Indonesia berbahasa Inggris yang baik pun akan terhambat karena terbiasa menyelipkannya ke dalam percakapan bahasa Indonesia. Akibatnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar tidak becus, berbahasa Inggris pun berantakan.
Bukan hal yang tidak mungkin jika suatu hari bahasa Indonesia menjadi bahasa gado-gado seperti bahasa Manglish di Malaysia, yaitu bahasa Inggris yang dicampur dengan bahasa Malaysia yang lazim digunakan di Malaysia. Jika di Malaysia ada Manglish, di Filipina ada Taglish, di Singapura ada Singlish, sebentar lagi mungkin ada Indolish. Bahasa yang mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
Bahasa adalah budaya bangsa. Almarhum WS Rendra pernah berkata bahwa sebuah bangsa tidak cukup hanya terdidik, tetapi juga harus berbudaya. “Karena kebudayaan merupakan tulang punggung peradaban bangsa,” tambah pengamat masalah pendidikan, Arif Rahman.
Dr. James Sneddon, Associate Professor di Griffith University, Brisbane, Australia, dalam buku yang ditulisnya – The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society – mengatakan: “Masa depan bahasa Indonesia akan berkaitan erat dengan masa depan negara Indonesia. Jika Indonesia tetap bersatu dan makmur maka bahasa Indonesia pun akan tetap lestari. Jika Indonesia terpecah belah, bahasa Indonesia akan tetap ada namun akan mengarah kepada ketidak stabilan mengikuti jenis atau bentuk pemerintahan yang ada. Dengan demikian maka kelestarian bahasa Indonesia di masa depan akan tergantung pada kemampuan masyarakat yang berbahasa Indonesia dalam memecahkan masalah perbahasaan yang dialami saat ini. Bahasa Indonesia pernah menjadi elemen terpenting dalam mempersatukan negara kepulauan Indonesia; kini persatuan Indonesia akan menjadi sangat penting dalam menentukan masa depan bahasa Indonesia”.
Sumber: Kompas