Last updated on January 20, 2019
Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita selalu mendengar slogan “berbahasa Indonesia dengan baik dan benar”. Rasanya slogan tersebut jadi jargon yang membosankan. Namun jangan salah. Saya merasa ada misi mulia yakni menjaga stabilitas sosial dalam slogan tersebut. Tidak percaya?
Kita sudah pernah diberi penjelasan oleh Bapak dan Ibu Guru, bahwa slogan di atas itu bermakna berbahasa yang sesuai kaidah kebahasaan, sekaligus menyesuaikan diri dengan lingkungan penutur.
Contohnya mudah saja. Kalau kita sedang berbicara di depan forum ilmiah, misalnya, tidak pada tempatnya kita mengucapkan kalimat seperti ini:
Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang sekalian, gue mau ngomong nih tentang riset gue yang barusan aja gue selesaiin.
Kalimat seperti itu logis-logis saja, sih, namun membuat kita gagal memenuhi tuntutan berbahasa dengan baik dan benar. Kata ‘ngomong’ dan ‘selesaiin’ tidaklah baku. Itu yang pertama. Kedua, kata-kata yang lain yakni ‘gue’ dan ‘barusan’ sebenarnya sudah baku dan termaktub di dalam KBBI, namun merupakan kata-kata untuk ragam percakapan (informal). Dengan demikian, kedua kata tersebut tidak pas untuk diucapkan di hadapan sebuah forum resmi.
Jika kita memaksakan diri untuk tetap mengucapkan kalimat dengan gaya seperti di atas, vonis yang akan jatuh di kepala kita adalah “berbahasa dengan tidak cukup baik”. Walaupun kata ‘ngomong’ dan ‘selesaiin’ kita ganti dengan ‘omong’ dan ‘selesaikan’ pun, tetap saja bahasa kita belum baik. Kita akan dipandang tidak tahu tata krama, tidak peka situasi, dan tidak menghormati forum resmi yang kita ikuti. Lebih jauh, kita akan dianggap orang aneh yang mesti agak dijauhi oleh lingkungan akademis tersebut hehehe.
Sebaliknya, jika kita sedang berbincang dengan tetangga di pos ronda sebelah rumah, akan terasa ganjil kalau kita mengucapkan,
Bapak Nardi yang terhormat, apakah benar dua hari lagi di kampung kita akan diselenggarakan kerja bakti dalam rangka membersihkan makam?
Sangat tidak nyaman mengucapkannya, dan jauh lebih tidak nyaman orang yang mendengarkannya. Akan jauh lebih enak dan cocok andai kita bertanya dengan santai sesuai suasana lingkungan pos ronda, misalnya:
Eh, Pak Nardi, dua hari lagi ada kerja bakti di makam, ya?
¬Dengan demikian, lawan bicara kita merasakan suasana yang wajar, kita pun tidak tampak sebagai manusia aneh, dan harmoni pun lebih terjaga.
Dari situ tampak nyata bahwa slogan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar bukan cuma urusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ia juga berdampak positif bagi kokohnya bangunan integrasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Sayangnya, saya tidak yakin, yang sisi kedua itu urusan Menkopolhukam atau siapa.
Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.