Last updated on January 20, 2019
ANTON MOELIONO, TVRI, program Pembinaan Bahasa Indonesia. Inilah senyawa yang mendidik kita tertib berbahasa sekaligus pengingat mutiara berharga yang mempertautkan keragaman bangsa ini. Sang “pembina bahasa” itu tutup usia Senin (25-7) menjelang tengah malam di rumahnya di Jalan Kartanegara 51, Jakarta, dalam usia 82 tahun.
Almarhum menjabat kepala Pusat Bahasa 1984—1989. Pada masa kepemimpinannya, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diterbitkan. Belasan buku dan ribuan ceramah, di kelas atau forum lain, termasuk di media massa, Anton mengalirkan kecintaannya pada amanat Sumpah Pemuda tersebut.
Lelaki kelahiran Bandung, 21 Februari 1929 ini tak sekadar menghadap layar kaca lalu berceramah. Dia melahirkan istilah yang kemudian populer. Seperti rekayasa (engineering), pantau (monitor), canggih (sophisticated), pasar swalayan (supermarket), mantan (penghalus kata bekas), dan bandara (akronim bandar udara, penyederhanaan dari pelud atau pelabuhan udara. Tapi ada pula yang kurang laku, seperti sangkil dan mangkus, pengganti efisien dan efektif.
Saya termasuk penyimak “sang guru” mengajar. Awalnya karena tugas sekolah. Namun, berbulan kemudian, acara yang terasa datar itu membawa gelombang pemahaman yang hanya bisa terpuaskan jika kita mengikuti minggu-minggu berikutnya. Lebih dari itu, berkat Antonlah bahasa Indonesia menjadi ladang ilmu yang nikmat dieksplorasi.
Berkat “pengembaraan” buku-buku, saya berjumpa linguis dunia, Edward Sapir, yang lalu menjadi “konfirmasi” atas ajaran Anton.
Sapir mengatakan pada hakikatnya kata lebih dari sekadar teknik komunikasi. Kata merupakan subtitusi verbal bagi objek-objek fisik kata, suatu verbal substitutes for physical world. (Culture, Language and Personality, University of California Press, 1968, hlm 18). Bahasa kemudian menjadi objek ilmu yang memuaskan dahaga dan menjadi pintu memasuki ilmu-ilmu lain.
“Kemampuan berbahasa berhubungan langsung dengan kebiasaan membaca”.
Ini ajaran Anton yang banyak dikenang. Proses membaca mengasah kecakapan berpikir. Membaca menuntut sikap aktif, kita dan teks yang dibaca. Orang harus memilih suatu bahasa sebagai alat berpikir.
Dengan banyak membaca, kita menemukan perbendaharaan kata baru, pola kalimat kompleks, dan paragraf yang berkesan.
Dan dari Anton kita mencatat, bahasa baku memiliki tujuan luhur ketimbang sekadar menjaga ketertiban penulisan, penggunaan istilah, atau kepiawaian memainkan tanda-tanda baca.
Prof. Jus Badudu, senior almarhum di Pusat Bahasa, mengatakan, “Bahasa baku ialah bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang paling luas pengaruhnya dan paling besar wibawanya. Misalnya, secara lisan, bahasa yang dipakai berkhutbah, ceramah, pelajaran, atau berdiskusi. Juga surat-menyurat resmi, menulis laporan, buku, skripsi, disertasi, undang-undang, dan sebagainya.”
Bahasa baku sesungguhnya memiliki alat kemantapan dinamis. Bentuknya berupa kaidah dan aturan tetap. Namun, keajekan itu cukup terbuka untuk perubahan yang bersistem di bidang kosakata, peristilahan, serta perkembangan berjenis ragam, gaya di bidang kalimat, plus makna.
Ada empat fungsi bahasa baku (1) fungsi pemersatu, (2) penanda kepribadian, (3) penambah wibawa, (4) kerangka acuan.
Secara psikologis, masyarakat ikut mengidentikkan bahasa Indonesia dengan masyarakat dan kehidupan modern. Dalam rezim digital, seperti sekarang, di mana banyak pesolek bahasa yang memakai campuran Inggris-Indonesia saat berbicara, ajaran Anton terasa aktual. Kita rindu tertib bahasa dalam ragam bahasa lisan dan tulisan.
Orang yang berpikir pasti menggunakan bahasa sebagai modus ekspresi. Sebaliknya, orang yang tidak berpikir tak perlu repot-repot berbahasa. Makin banyak orang melalaikan mutu bahasanya, kian banyaklah ia tidak berpikir. “Pikir per kapita” di negara ini jangan-jangan menjadi terendah di dunia setelah Anton tiada dan Jus Badudu surut karena usia. (HERI WARDOYO/U-3)
OBITUARIUM
Rabu, 27 July 2011
http://www.lampungpost.com/index.php/ragam/4288-obituarium–berkat-anton-kita-tertib-.html