Press "Enter" to skip to content

Fried Chicken bukan Ayam Goreng

Last updated on January 20, 2019

Saya tidak tahu kapan Kentucky Fried Chicken datang ke Indonesia. Yang pasti saya ingat, saya melihat iklan-iklan KFC pertama kali di televisi swasta, sementara TV swasta baru bisa saya tonton setelah stasiun-stasiun mereka mulai membuka saluran lewat antena UHF atau pesawat televisi berwarna (yang masih hitam-putih tidak bisa menangkap sinyalnya, entah kenapa).

Saya juga tidak ingat kapan persisnya gerai-gerai waralaba fried chicken lainnya bermunculan susul-menyusul. Mulai California Fried Chicken, Texas Chicken, hingga gerai-gerai kecil yang menjiplak menu mereka. Seingat saya, di kota kami, waktu itu ramai Waiki Fried Chicken di Jalan Parangtritis kemudian Yogya Chicken di bilangan Gejayan.

Sejak kesuksesan dua gerai kecil itu, lambat laun merebaklah pedagang fried chicken di segenap pelosok hingga ke kampung-kampung. Mulai di tepi jalan raya, hingga ke sudut-sudut kampung. Kadang mereka memajang nama spesifik, kadang tidak. Namun sebagai penanda, selalu ada penyertaan kata fried chicken di situ.

Banyak orang sekadar melihatnya sebagai pengayaan khazanah menu makanan rakyat. Sekarang makanan ala Amerika mulai bisa kita cicipi dengan murah, kata mereka dengan gembira. Namun anehnya, belum pernah saya mendengar ada orang yang menyadarinya sebagai sebuah gejala kebahasaan.

Begini maksud saya. Apa sih artinya fried chicken? Terjemahannya dalam bahasa Indonesia jelas-jelas ‘ayam goreng’. Namun kenapa para pedagang itu tidak pernah memajang nama “Ayam Goreng Texas”, misalnya? Kenapa, Rhoma?

“Oh, itu wujud dari perasaan inferior kita sebagai bekas negara terjajah. Lalu kita merasa yang bahasa Inggris lebih keren,” jawab para pakar politik dan sosiologi.

Ah, itu mungkin benar di satu sisi, namun sepertinya kurang jeli dan kurang arif di sisi lain. Para pedagang bergerobak dorong itu saya kira tidak pusing-pusing amat untuk tampil sok keren dan kebarat-baratan. Yang mereka lakukan semata langkah sederhana: memberikan penanda khusus pada dagangan mereka!

Benar, sebuah penanda khusus. Sebab jika cuma mereka sebut ‘ayam goreng’ saja, para calon pembeli yang melintas tidak akan paham seketika bahwa dagangan di gerobak itu adalah ayam goreng tepung dengan gaya ala-ala KFC!

Coba, sekarang tulisan di gerobak itu diganti: “Jual Ayam Goreng”. Saya berani bertaruh, bayangan yang muncul di kepala kita adalah ayam goreng biasa, yang tidak bertepung, yang digoreng dengan bawang-garam saja, atau yang digoreng manis dengan kecap.

Kita memang sudah terbiasa dengan imajinasi visual ‘ayam goreng’ sebagai ayam goreng Nusantara pada umumnya. Kalau di kota saya ya ada Ayam Goreng Mbok Sabar, Ayam Goreng Mbok Berek, atau maksimal Ayam Goreng Suharti. Khusus nama yang terakhir memang ayamnya digoreng dengan tepung, tapi tepungnya tidak menyatu dengan ayam sebagaimana pada “fried chicken”.

Kesimpulannya, secara terjemahan, ‘fried chicken’ memang ‘ayam goreng’. Namun secara kenyataan faktual dan sebagai bahasa yang hidup dalam masyarakat, fried chicken bukan ayam goreng! Keduanya berbeda!

Dengan realitas berjalannya mekanisme berbahasa seperti itu, jangan kaget kalau di gerobak-gerobak ayam alam Amerika itu muncul beberapa versi: “Jual Fried Chicken”; “Sedia Ayam Fried Chicken”; atau “Ayam Goreng Fried Chicken”. Yang lebih hebat lagi, ada yang membubuhkan tanda “Jual Ayam Chicken”, “Jual Ayam Kentucky”, atau “Sedia Ayam Kentaki”.

Nah, proses sejarah kuliner berikutnya membawa mereka pada variasi komoditas, dan tahu-tempe pun turut dimasak dengan cara yang sama. Maka, gerobak-gerobak itu pun dengan gagah memampangkan nama mata dagangan mutakhir: “Jual Tahu Kentucky”.

Jadi, istilah ‘kentucky’ atau ‘kentaki’ sekarang ini ternyata sudah mengandung makna “teknik memasak dengan cara menggoreng dengan tepung gurih sampai garing tapi tepungnya tidak lepas dari bahan yang dimasak”. Saya kira kalau pas lagi longgar, Pusat Bahasa bisa mempertimbangkan untuk mengolah ulang penemuan kreatif masyarakat ini untuk memperkaya bahasa Indonesia.

 

 

 

Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.

error: Content is protected !!