Last updated on January 20, 2019
Menyusul berita riuh tentang susu kental manis, saya ingin menyambungnya dengan topik bahan pangan yang lain. Kali ini tentang cokelat.
Dapat dikatakan, cokelat bukan camilan “asli” Indonesia. Sejarah cokelat dimulai dari Amerika Selatan. Kemudian ia menyebar ke Afrika melalui jalur kolonialisme Spanyol. Di Nusantara, cokelat pertama kali datang pada tahun 1560 di Sulawesi Utara. Setelah menjalani fase awal perkenalannya, perluasan penanaman cokelat hingga Jawa Timur dan Jawa Tengah baru dilakukan pada awal abad ke-19.
Yang jelas, dengan perjalanan sepanjang itu, kita tidak melihat cokelat masuk sebagai bagian akrab dari tradisi kuliner Nusantara. Lain halnya dengan kopi, misalnya. Meskipun sesama komoditas perkebunan yang datang dari luar, bisa kita katakan tradisi minum kopi kental mewarnai budaya Nusantara, sementara tak ada tradisi minum cokelat. Mungkin karena kopi merupakan tanaman terpenting dan paling digenjot produksinya oleh penjajah pada masa Tanam Paksa, dan cokelat tidak. Atau adakah alasan-alasan lain? Barangkali teman-teman yang paham sejarah agrobisnis bisa bercerita.
Intinya, dengan keadaan seperti ini, masyarakat kita cukup berjarak dengan cokelat. Memang sih, belakangan mulai ramai, setelah selera akan cokelat masuk lewat jalur budaya massa. Namun tetap mesti dilihat bahwa baru belakangan itu terjadi.
Nah, dengan peta sejarah seperti itu, saya jadi bertanya-tanya, kenapa masyarakat kita menyebut warna merah kehitam-hitaman dengan cokelat? Bahkan dalam bahasa lokal semisal bahasa Jawa yang saya tuturkan pun, warna itu disebut pula dengan soklat atau coklat. Lantas bagaimana leluhur kita menyebut warna cokelat sebelum datang tanaman cokelat di tengah-tengah mereka?
Ini masih misterius buat saya. Saya tidak yakin bahwa kata cokelat yang mengacu kepada warna itu sudah dituturkan leluhur kita sejak jauh hari sebelum mereka kenal tanaman cokelat. Saya juga tidak percaya bahwa para leluhur belum mengenal warna itu sebelum kedatangan tanaman dan buah cokelat. Toh warna kayu tua juga cokelat. Warna kotoran sapi juga cokelat. Warna kulit kita juga cokelat.
Eh, atau mereka menyebutnya dengan ‘warna sawo matang’ untuk cokelat agak muda? Lalu dengan cara bagaimana warna cokelat tua disebut?
Entahlah. Yang jelas, dengan kesamaan penyebutan antara cokelat sebagai buah kakao dan cokelat sebagai warna itu membuat saya di masa remaja merasakan satu kebingungan yang parah. Hal itu terjadi ketika untuk pertama kalinya dalam hidup saya mencicipi cokelat putih dengan merek Toblerone (itu pun cuma karena dikasih oleh gadis yang saya apeli).
Loh! Ini cokelat? Cokelat kok warnanya putih? Cokelat tapi bukan cokelat! Ini pasti cokelat sintetis! Dan karena kau kasih aku cokelat sintetis, pasti cintamu juga sintetis, Dik!
(Namun ternyata, cokelat putih di tangan saya itu memang cokelat asli, bukan sintetis. Adapun tentang cinta dari Si Pemberi Cokelat, apakah sintetis ataukah bukan, sebaiknya tidak kita bahas di sini).
Kebingungan yang saya rasakan atas cokelat putih pastilah lazim, karena faktor kebahasaan. Situasi ini tidak akan terjadi pada penutur bahasa Inggris, sebab mereka menyebut chocolate untuk kakao dan brown untuk warna cokelat. White chocolate terdengar baik-baik saja di telinga mereka, dan para pemuda berbahasa Inggris tidak perlu kelabakan saat pacar mereka minta dibawakan white brown (!).
Meski demikian, bukan berarti bahasa Indonesia lebih miskin dan mengenaskan. Coba, ribuan tahun lalu saat masyarakat Anglo Saxon mulai menemukan iron, mereka belum bisa merapikan baju menggunakan iron, bukan?
Ya, iron yang pertama adalah ‘besi’, dan iron yang kedua adalah ‘seterika’.
Kembali ke pokok pertanyaan: bagaimana leluhur kita menyebut warna cokelat pada masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa? Bila ada yang tahu, mohon sampaikan di kolom komentar. Saya akan sangat berterima kasih jika akhirnya dapat membongkar misteri itu.
(IAD)
Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.