Last updated on January 20, 2019
MEREKA yang mengira bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah akan segera menyadari betapa rumitnya jika mereka berusaha sungguh-sungguh mempelajari sastra dan bentuk tulisan lainnya.
Salah satu hambatan bagi orang asing yang ingin belajar bahasa Indonesia adalah luasnya kosakatanya. Kenyataan bahwa bahasa ini memiliki 20 ribu kata serapan dari berbagai bahasa, yang tersusun dalam Loan-Words in Indonesian and Malay (2008) karya Russell Jones, bisa mengarah pada kesimpulan yang salah, seolah-olah bahasa Indonesia adalah bahasa yang relatif miskin dengan kosakata asli yang agak terbatas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) dengan 90 ribu butir masukan dan subbutir masukan jelas memperlihatkan justru sebaliknya, dan menggarisbawahi kekayaan linguistik dan budaya bahasa Indonesia.
Tetapi ada juga fenomena lain: Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak saja mencerminkan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa hidup yang mampu beradaptasi dengan situasi baru. Kamus ini juga mencerminkan opini dan interpretasi tim penyusunnya tentang bagaimana bahasa Indonesia semestinya menurut tata bahasa yang resmi. Bahasa Indonesia seolah-olah merupakan bahasa yang dibuat berdasarkan keputusan (yang pada tingkatan tertentu bisa dikatakan benar sejak 1928) ketimbang bahasa yang diserap dari kenyataan linguistik sehari-hari.
Namun linguistik ”semestinya” ini tidak selalu mencerminkan keadaan linguistik sebenarnya. Oleh karena itu, kamus ini menggambarkan ragam bahasa Indonesia yang diputuskan dan disetujui oleh tim redaksi Pusat Bahasa di Jakarta setelah berbagai diskusi.
Jika kita ingin memperhatikan perkembangan linguistik dan pembahasan internal itu, adalah hal yang menarik untuk membandingkan Edisi Ketiga dan Keempat, tidak saja berkaitan dengan kosakata, tetapi juga dengan tata bahasa. Pandangan yang berbeda tentang asal muasal kata-kata tertentu dalam bahasa Indonesia mengarah pada pembentukan dan penyusunan lain dari berbagai butir masukan. Contohnya kata memperhatikan dan memerhatikan. Dalam Edisi Ketiga, perhati muncul sebagai akar kata, sedangkan kata turunannya adalah memerhatikan. Namun, dalam Edisi Keempat, yang menjadi akar kata adalah hati (dengan perhati sebagai subbutir masukannya), yang menurunkan kata kerja memperhatikan. Dalam Edisi Keempat, kata memerhatikan sama sekali tidak ada. Semua ini pasti merupakan hasil pembahasan linguistik di antara para penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak ada perubahan dalam percakapan sehari-hari, karena memperhatikan tetap berlaku seperti sebelumnya.
Walaupun dianggap benar bahwa Kamus Besar Bahasa Indonesia mencakup bentuk yang mengikuti aturan tata bahasa yang resmi, menurut saya pribadi adalah suatu bentuk peniadaan bahwa di samping bentuk ini beberapa bentuk yang sebenarnya masih ada dan umumnya diterima dalam berbagai kasus tidak dimasukkan. Misalnya, di bawah kata pengaruh ada memengaruhi, tetapi tidak ada mempengaruhi yang memperlihatkan adanya pengecualian gramatikal namun tetap diterima.
Bahasa Indonesia ”gaul” umumnya tidak dimasukkan ke dalam kamus besar ini, walaupun butir masukan ketemu terdapat di bawah huruf ”K”, di mana kita dialihkan ke temu, yang di bawahnya tidak ditemukan kembali di sebelah bentuk yang lebih resmi, yaitu bertemu. Kata-kata turunan dari ketemu (mengetemui dan mengetemukan) yang tercantum dalam Edisi Ketiga tidak lagi dimasukkan ke dalam Edisi Keempat, mungkin karena kata-kata ini dinilai sebagai bahasa sehari-hari (kolokial).
Berbagai kata lain yang saya temukan misalnya di kamus telepon genggam saya, seperti tajir, dong, atau nggak, tidak muncul di kamus ini, mungkin karena dinilai sebagai bahasa gaul.
Beberapa kata yang umum dipakai, seperti bengkel (bahasa Belanda: winkel) atau perkedel (bahasa Belanda: frikandel) sebagai contoh, yang muncul dalam Edisi Ketiga, kini telah ditiadakan untuk alasan yang tidak jelas, sedangkan sejumlah kata yang tidak lumrah digunakan tetap dipertahankan. Pelopor (bahasa Belanda: voorloper) ditemukan, tetapi kata voorijder yang juga umum digunakan (bahasa Belanda: voorrijder) tidak ditemukan.
Dalam Edisi Ketiga Kamus Besar Bahasa Indonesia di bagian ”Kata dan Ungkapan Asing” terdapat formula minal ’aidin wal-faizin, yang banyak dipakai saat Idul Fitri, tetapi telah dihapus dari Edisi Keempat untuk alasan yang tidak jelas.
Sejumlah kata asing tertentu sedang mengalami proses asimilasi ke dalam bahasa Indonesia, walaupun kata-kata tersebut tidak sepenuhnya mengikuti aturan tata bahasa yang berlaku. Sukses, misalnya, awalnya diserap menjadi mensukseskan, kini diubah menjadi menyukseskan. Semakin banyak orang lebih senang memakai kata serapan semacam itu layaknya sebuah kata asli Indonesia, semakin banyak pula kata tersebut dipakai. Walaupun mensukseskan tetap umum dipakai, juga dalam pidato-pidato resmi, termasuk pidato kepresidenan, kamus besar ini hanya memasukkan bentuk tata bahasa yang ”benar”, yaitu menyukseskan, sehingga mengabaikan sebagian dari kenyataan linguistik bahasa Indonesia.
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/30/BHS/mbm.20090330.BHS129890.id.html