Last updated on January 20, 2019
Mungkin awalnya orang Arab hanya tahu bersetubuh, yaitu ketika kelamin laki-laki dan perempuan saling bertemu. Disebutlah jima’ yang artinya berkumpul atau bertemu. Dan ketika unta-unta mereka berkumpul di padang rumput, mereka mengatakan ijtama’a al-ibil (unta-unta berkumpul). Hebatnya, dari ide sederhana ini mereka menemukan kata-kata jadian lainnya: ijma’ (kesepakatan ulama), ijtima’ (bumi, bulan, dan matahari berada dalam satu garis lurus), mujtama’ (orang-orang yang hidup bersama di satu tempat atau masyarakat), jami’ah (tempat mahasiswa belajar atau universitas), jum’at (hari orang berkumpul untuk melaksanakan salat bersama—salat jum’at), dan jama’ah (sekumpulan orang yang berada dalam satu garis kepemimpinan). Kata-kata ini selanjutnya digunakan sebagai istilah untuk menyebut berbagai hal yang ada dalam kehidupan mereka. Ada pola baku yang selalu diikuti sehingga bahasa Arab tidak saja berhasil mengembangkan berbagai macam peristilahan, ia juga mampu menjelaskan ide yang paling kompleks sekalipun.
Ketika Islam datang ke Nusantara, kita memborong kata-kata ini tanpa memerhatikan kaidah yang ada di belakangnya. Akibatnya adalah, bahasa kita kaya dengan kosa kata, namun miskin dalam peristilahan. Kita tidak punya istilah khusus untuk menyebut peristiwa sejajarnya bumi, bulan, dan matahari dalam satu garis, yang menandakan bulan baru. Dan ternyata banyak istilah penting dalam bahasa kita diambil dari bahasa asing. Hal ini sebenarnya biasa dalam bahasa. Bahasa apa pun menyerap kata atau istilah asing. Hanya masalahnya, kebiasaan ‘memborong’ itu terus berlanjut. Mengapa kita tidak membuat istilah sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita lihat bahasa Arab, sebuah bahasa yang banyak menyumbang bahasa kita. Bahasa Arab memiliki metode tasrif (perubahan kata) yang bertujuan memperluas fungsi kata. Dari sini didapatkan istilah baru untuk mengungkap konsep baru. Siapa sangka bahwa kata tarbiyah (pendidikan) dalam bahasa Arab diambil dari kata rabwah, artinya humus, bunga tanah di mana tanaman bisa tumbuh subur. Dan siapa sangka pula bahwa syari’ah memiliki makna “jalan menuju mata air.” Di sini kita melihat penamaan didasarkan pada kesamaan atau kemiripan ide dasar. Perluasan terjadi karena kata tidak hanya punya arti yang sebenarnya (makna haqiqi), namun juga arti kiasan (makna majazi).
Di samping itu, dalam bahasa Arab, kata mempunyai sejumlah bentuk: kata kerja, kata benda, kata sifat, kata keterangan, dan masing-masing memiliki sub-bentuk, sehingga satu kata bisa memiliki belasan kata jadian. Kata “kataba” (menulis), misalnya, memiliki tasrif “kitab” (buku), “katib” (penulis), “maktab” (meja tulis), “maktabah” (perpustakaan), dan seterusnya. Ide “menulis” erat kaitannya dengan “buku,” dengan “perpustakaan.” Metode ini sederhana namun cerdas, karena bahasa bisa berkembang sedemikian rupa, melampaui simpul-simpul lokalnya untuk menampung ide-ide baru.
Dalam pengamatan saya, bahasa Indonesia pun memiliki metode ini, hanya memang tidak terstruktur dengan baik, sehingga kita seringkali mencari kata baru untuk membuat istilah baru. Padahal ide dasarnya sudah terkandung dalam perbendaharaan kata kita. Pada saat itulah godaan untuk meminjam istilah-istilah asing begitu dahsyat. Kata “biak” punya sejumlah bentuk jadian: membiak, pembiak, pembiakan, biakan, terbiak, dst. Sejauh ini kata ini hanya digunakan untuk pemeliharaan dan pengembangan ternak. Mengapa tidak kita gunakan “pembiakan” untuk “investment,” dan “pembiak” untuk “investor?” Mengapa kita hanya berani menggunakan “unduh” untuk “download?”
Dalam beberapa hal kita berani. Kita menemukan banyak kata baru akhir-akhir ini. Namun keberanian saja tidak cukup. Kita harus punya pola, salah satunya dengan cara memperluas fungsi kata: unduh, mengunduh, unduhan, pengunduh, pengunduhan, terunduh, keterunduhan, dst. Setelah kata-kata ini tercipta, mereka bisa digunakan untuk peristilahan lainnya. Kita bisa gunakan “pengunduhan” untuk “rush” (penarikan uang dalam jumlah besar karena peristiwa tertentu) dan “profit taking” (usaha ambil untung).
Sejauh ini ada upaya kreatif dari berbagai kalangan untuk menjajal kata-kata baru. Ini patut dihargai dan diteruskan. Gerus adalah kata yang relatif baru. Dalam benak saya, “menggerus” adalah proses pelumatan cabe, bawang, terasi di cowet untuk membuat sambal. Kata ini sekarang dipakai untuk berbagai hal yang berhubungan dengan longsor dan erosi. “Tebing itu akhirnya ambruk karena tergerus air.” Kita tentu bisa perluas lagi penggunaan kata ini, tidak saja untuk erosi dan abrasi, tapi juga untuk segala tindakan yang berhubungan dengan mengontrol dan menguasai. Setiap kali mendengar kata ini, saya menangkap kesan negatif sehingga kita bisa memadankannya dengan “intervensi.” “Pemerintah semakin menggerus kekuatan masyarakat sipil.” Mengapa tidak? Setelah bersusah payah menemukan kata itu, mengapa kita buang.