Last updated on May 6, 2022
Latar Belakang
Salah satu kendala utama dalam mempelajari kata serapan dari bahasa Arab dalam bahasa Indonesia, adalah kenyataan bahwa bentuk asli dari beberapa kata itu telah dihapus akibat proses pembaruan bahasa Indonesia. Artinya sebagian kata telah melalui suatu proses buatan. Selama proses pembaruan atau standardisasi atau kodifikasi ini, komite bahasa dan lainnya memutuskan mana yang semestinya dianggap tepat dan mana yang tidak.
Pesantren mungkin juga mempunyai peran penting, karena justru sekolah ini mengajarkan bahasa Arab kepada mereka yang menetap di Indonesia. Sebagai akibatnya, banyak kata mengalami perubahan dan sejumlah bentuk pun telah hilang. Unsur bahasa Arab kolokial (bahasa sehari-hari) dalam berbagai dialek Melayu, seperti bahasa Betawi atau lainnya, pada umumnya tidak dimasukkan ke dalam bahasa resmi Indonesia.
Wujud Baru Bahasa Arab Klasik
Kata-kata bahasa Arab, yang diserap dalam bahasa Indonesia melalui berbagai bahasa daerah di kepulauan Indonesia, seperti bahasa Jawa atau Sunda, atau dialek Melayu, seperti Betawi, berubah menjadi suatu wujud baru bahasa Arab klasik. Kata-kata bahasa Arab ini mengalami suatu proses re-arabisasi atau umumnya telah hilang sama sekali. Jika kata-kata ini dibawa oleh pedagang Arab, masuk akal apabila kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia atau Melayu paling tidak mengandung unsur-unsur kolokial yang penting. Karena para pedagang (seperti halnya orang awam lainnya) biasanya tidak menggunakan bahasa Arab klasik jika berkomunikasi dengan orang lain dalam bahasa ibu mereka.
Mereka bahkan biasanya tidak menguasai bahasa Arab klasik dengan baik. Hal ini akan agak berbeda apabila para guru Islam turut berperan. Mengingat sebagian besar kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia mempunyai bentuk yang klasik, maka masuk akal untuk mengasumsikan bahwa kata-kata tersebut masuk di kepulauan Indonesia. Terutama lewat orang-orang yang menguasai bahasa Arab tulisan dan yang biasanya tidak menggunakan bahasa kolokial. Yaitu guru dan ulama Islam (yang berasal dari Arab, Persia, Indonesia, dan daerah lainnya) di pesantren, masjid, dan sebagainya. Mungkin juga lewat para penyusun kamus. Namun, terbukti juga adanya temu muka langsung dengan para pedagang Arab yang menggunakan bahasa kolokial.
Jejak Kolokial Kata Serapan Bahasa Arab
Sebagian besar kata serapan Arab tidak mengandung jejak kolokial apa pun. Yang bisa memberikan petunjuk daerah asal kata tersebut karena bentuknya yang klasik.
Namun, Kees Versteegh mengemukakan,
”Yang khususnya menarik adalah kata-kata serapan itu memperlihatkan bersumber dari bahasa Mesir, di mana j diucapkan sebagai g seperti dalam gamal `unta‘ (Arab = jamal, Mesir = gamal)” dan kata-kata dengan pelafalan g untuk q dalam bahasa Arab seperti dalam gamis `kemeja’ (Arab = qamis), gereba (Arab = qirba). ”
Arabic Component Leksikon Indonesia
Sehubungan dengan kemungkinan latar belakang Mesir ini, perlu dicatat bahwa menurut beberapa sumber, pedagang dari Kairo sudah mulai aktif di Jawa paling tidak pada abad ke-11. Namun, perlu dicatat bahwa kata-kata yang digunakan sebagai contoh oleh Versteegh sama sekali tidak digunakan dalam bahasa Indonesia modern. Kata yang biasanya digunakan untuk jamal dalam bahasa Indonesia adalah unta. Selain itu, jumlah contoh yang diberikan di sini begitu kecil (hanya tiga, dua di antaranya sudah usang atau tak dikenal). Sehingga, sulit untuk menguatkan tesis bahwa kata-kata seperti itu diserap dalam bahasa Indonesia lewat bahasa Arab kolokial, entah itu dari Mesir, Hadramaut, atau daerah lainnya.
Akhir kata, pengaruh bahasa Arab Hadramaut terhadap proses penyerapan kata ke dalam bahasa Indonesia, sebaiknya jangan dianggap mempunyai dampak yang besar. Karena sebagian besar generasi baru masyarakat keturunan Hadramaut di Indonesia juga sudah tidak menguasai lagi bahasa Arab, akibat adanya perkawinan campur dengan penduduk Indonesia. Mereka sebagian besar mengikuti bahasa ibu mereka yang keturunan Indonesia. Walaupun telah menemukan beberapa jejak bahasa Arab kolokial yang berasal dari Semenanjung Arab, saya belum berhasil menemukan bahasa kolokial khas Hadramaut,
Bahasa Indonesia Modern
Dalam bahasa Indonesia modern, nama untuk hari Rabu tidak saja memperlihatkan latar belakang kolokial, tetapi juga regional. Di Yaman dan beberapa bagian daerah di Arab Saudi (namun tidak di Oman), Selasa dan Rabu disebut thaluuth dan rabuu’. Rabuu‘ telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi Rabu.
Nama-nama hari lainnya dalam bahasa Indonesia Hari Ahad [bahasa Arab: Yawm al-Ahad], Senin [al-Ithnayn], Selasa [al-Thalatha’], Kamis [al-Khamis], Jumat [al-Jum’ah],dan Sabtu [al-Sabt] mendekati bentuk kata Arab klasik dan tidak memperlihatkan pengaruh dialek apa pun kecuali Senin, yang berbeda dengan Rabu, tidak diketahui jelas daerah asalnya. Bentuk alternatif Isnin, juga ditemukan di beberapa kamus, lebih dekat dengan Arab klasik (Yawm al-Ithnayn).
Saya tidak (atau belum) menemukan contoh jelas lainnya dari bahasa Arab kolokial dalam bahasa resmi Indonesia kecuali kata khalas (selesai). Kata ini dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tanpa konotasi kolokial. Namun demikian, berbagai contoh bahasa Arab kolokial dapat ditemukan dalam bahasa Melayu kolokial. Dalam bahasa Betawi juga terdapat beberapa contoh. Dalam Glosari Betawi karya Ridwan Saidi (2007), saya menemukan berbagai kata serapan Arab yang khas kolokial (tidak klasik).
Misalnya:
- kata syuf (lihat!) adalah khas kata Arab kolokial.
- fulus (uang, juga dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kolokial)
- halas (telah tercantum sebagai khalas dan juga diterima dalam bahasa Indonesia resmi) dan ta’al(datang!).
Ada juga kata serapan Arab yang dalam bahasa Arab sendiri tidak termasuk kolokial, namun ditolak dalam bahasa Indonesia standar. Karena kata-kata tersebut dianggap sebagai kata kolokial dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Betawi, misalnya, terdapat tajir (dalam bahasa Arab berarti pedagang), sedangkan di sini artinya adalah `sangat kaya‘. Kamus besar bahasa Indonesia umumnya tidak memuat kata-kata seperti itu. Mungkin karena kata-kata itu dianggap sebagai bahasa kolokial Indonesia atau bahasa gaul.
Nafsu dan salju: akhiran semu klasik
Sejumlah akademisi menyimpulkan bahwa akhiran -u dalam kata serapan Arab pada Bahasa Indonesia, merupakan tinggalan dari akhiran dalam tata bahasa Arab klasik. Contoh: seperti nafsu dan salju.
Dalam artikelnya, Kees Versteegh mengemukakan:
”Sebuah kasus istimewa adalah kata berakhiran -u/-i seperti napsu (bahasa Arab: nafs), salju/salji (bahasa Arab: talj), waktu (bahasa Arab: waqt), wahi/wahyu (bahasa Arab: wahy), abdi/abdu (bahasa Arab: `abd), rejeku/rejeki/rezeki (bahasa Arab: rizq).”
The Arabic component of the Indonesian lexicon (2003)
Beberapa dari kata ini mungkin baru-baru ini saja dipinjam oleh kaum terpelajar, yang mengenal bahasa Arab dan mencoba untuk menirukan bentuk akhiran Arab ini. Ini diterapkan misalnya pada salju dan hampir pasti pada wahyu. Namun, kita jangan mengesampingkan kemungkinan bahwa beberapa kata ini yang berasal dari bentuk kuno. Yaitu dari kata serapan berakhiran -u, yang merupakan cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu > -o, -u. Dalam hal kata napsu, misalnya, arti dalam bahasa Indonesianya mungkin berasal dari kata nafsu-hu dengan dugaan penafsiran dari `[itu] pikirannya, maksudnya’.
Dalam hal kata perlu, contoh ini mungkin memberikan penjelasan untuk gramatikalisasi dari fardu-hu ‘[itu] tugasnya’ > ‘ia harus‘. Bentuk kata serapan fardu, yang tidak mengalami perkembangan ini, tetapi hanya mempunyai arti `kewajiban moral’, mungkin memperoleh akhirannya sebagai akibat dari re-arabisasi baru-baru ini.
Berdasarkan Versteegh, Stuart Campbell menyampaikan pendapat yang sama. Bahkan menguraikan tentang jalur India Selatan (South Indian connection) dalam artikelnya Indonesian/Malay (Encyclopedia of Arabic Language and Linguistics ). Di situ tertulis bahwa:
”Sejumlah kata serapan berakhiran -u dan/atau -i, misalnya napsu/nafsu < nafsu, perlu, wahyu, salju/salji. Sementara beberapa ahli mengemukakan pendapat bahwa akhiran -u merupakan bukti adanya pengaruh India Selatan, Versteegh (2003) mempunyai penjelasan yang lebih meyakinkan. Misalnya usaha yang polos untuk menirukan bentuk akhiran atau cerminan bentuk orang ketiga tunggal maskulin -hu.”
Encyclopedia of Arabic Language and Linguistics
Struktur Bahasa Penerima
Perlu dicatat di sini bahwa konsep `kepolosan’ ini bukan diperkenalkan oleh Versteegh, melainkan tambahan oleh Campbell. Menurut saya, petunjuk dari bentuk akhiran ini tidak ditemukan dalam kata asli bahasa Arab, tetapi dalam struktur bahasa penerima. Faktor ini tidak diperhitungkan di sini.
Jika hal itu dilakukan, penjelasannya akan menjadi lebih sederhana dan jelas. Bentuk akhiran dalam kata seperti salju dan waktu, semestinya hanya perlu dilihat sebagai bentuk yang telah disesuaikan. Baik dalam struktur fonologi maupun suku kata Melayu dan bahasa Indonesia.
Dalam penelitiannya tentang kata serapan awal, Dr. James Sneddon menulis:
”Bagian (akhir) kata dihilangkan, baik dengan penambahan vokal, seperti dalam lampu (bahasa Belanda: lamp) dan pompa (bahasa Belanda pomp). Kata serapan awal terkadang menambahkan sebuah vokal akhir, seperti buku (dari bahasa Belanda: boek).”
The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society.
Gejala yang sama tampak juga dalam kata serapan bahasa Arab. Contoh lainnya adalah abdu/abdi, ilmu, dan kalbu. Di samping nafsu, kita juga bisa menemukan nafas dan napas, yang juga cocok dengan aturan bahasa Melayu/bahasa Indonesia.
* About the author: Dr. Nikolaos van Dam was ambassador of The Netherlands to Indonesia, Germany, Turkey, Egypt and Iraq (1988-2010). He is the author of The Struggle for Political Power in Syria (London: I.B. Tauris, 2011, 4th edition).