Last updated on January 20, 2019
Saat ini, kita hidup pada zaman di mana orang yang berbuat tercela mendapat peluang, sementara orang yang berbuat baik justru terpinggirkan. Kita hidup pada zaman di mana aturan dibuat untuk dilanggar, pada zaman di mana ambiguitas antara kebenaran dan dusta semakin nyata.
Saya menemukan kalimat-kalimat heroik itu dalam sebuah unggahan di Facebook, saat si penggunggah membahas Serat Kalatidha karya pujangga Ronggowarsito. Begitu membacanya, langsung berkelebat di benak saya kalimat-kalimat serupa yang muncul di mana-mana. Lumayan sering saya menjumpainya.
Fokus masalah yang saya perhatikan di situ adalah pada rangkaian kata ‘di mana’. “Kita hidup pada zaman di mana…”
Lo, zaman kok di mana? ‘Di mana’ adalah kata tanya yang dipakai untuk menanyakan tempat, padahal ‘zaman’ menunjukkan rentang waktu, bukan tempat. (Tentu saja dalam hal ini kita bicara dalam nalar orang awam saja, tidak perlu membawa-bawa Pak Einstein yang akan terlalu rumit menjelaskan konsep ruang dan waktu menurut pemikirannya.)
Nah, sekali lagi, ‘di mana’ dipakai untuk menanyakan tempat. Dengan demikian, kalau mau enak, kata ‘zaman’ mesti diganti pula dengan kata yang menunjukkan tempat. Ambillah contoh ‘kampung’. Maka, kita bisa merevisi kalimat di atas dengan:
Kita hidup di kampung di mana orang yang berbuat tercela mendapat peluang.
Logis, bukan? Masalahnya, secara resmi bahasa Indonesia tidak mengenal kata hubung ‘di mana’, yang setara dengan kata where dalam bahasa Inggris. Misalnya pada kalimat “This is the town where I waste my time in whole my life.” Jalan tengahnya, kita bisa menata lagi kalimat bermasalah di atas dengan:
Kita hidup di kampung tempat orang yang berbuat tercela mendapat peluang.
Kalimat seperti itu lebih diterima dalam tuturan bahasa Indonesia, dan lebih nyaman didengar.
Apabila kita kembali ke kalimat awal yang memberikan penekanan tentang ‘zaman’, dan kita ingin mengadopsi mentah-mentah cara penuturannya dalam bahasa Inggris, kata hubungnya jelas bukan ‘di mana’, melainkan ‘kapan’.
Kata ‘kapan’ setara dengan ‘when’, misalnya dalam “That was the day when I decided to leave her.” Akan tetapi, menerjemahkan kata penghubung itu secara apa adanya dari bahasa Inggris akan membuat kalimat kita terasa janggal.
Kita hidup di zaman kapan orang yang berbuat tercela mendapat peluang.
Aneh, bukan? Karena itulah, kita perlu kembali ke tuturan lazim dalam bahasa Indonesia, yang menggunakan kata-kata penghubung penunjuk waktu seperti ‘ketika’, ‘saat’, atau ‘waktu’.
Kita hidup di zaman ketika orang yang berbuat tercela mendapat peluang.
Bagaimana, sudah terasa enak, bukan? Nah, kalau sudah enak, ya jangan dinikmati sendiri. Sebab hidup yang enak akan lebih mendatangkan berkah jika kita mau berbagi. Tanyalah Pak Mario kalau Anda masih kurang percaya.