Press "Enter" to skip to content

Ketika Tajwid Melawan Kata Serapan

Last updated on January 20, 2019

Pengaruh bahasa Arab dalam bahasa Indonesia amat kuat. Banyak sekali kata serapan dari bahasa Arab, khususnya yang terkait dengan soal-soal keagamaan, atau minimal terkait dengan nilai-nilai moral keagamaan. Ambillah contoh kata ‘rezeki’ (dari rizqi), ‘derajat’ (dari darajah), ‘menara’ (dari minarah), ‘lalim’ (dari zhalim), ‘sekarat’ (dari sakaraatul maut), ‘masalah’ (dari mas-alatun), ‘berkah’ (dari barakah), dan sebagainya.

Kata-kata di atas sudah sangat lazim terucap dalam perbincangan kita, sehingga kadang kita tidak menyadari bahwa semua itu cuma serapan. Kita tidak sadar, karena sudah sangat jarang mengucapkan kata aslinya dalam bahasa Arab. Kalau toh kadang masih mengucapkannya, misalnya kata rizqi, biasanya itu muncul dalam semesta perbincangan keagamaan. Adapun dalam perbincangan umum, kata ‘rezeki’ (atau ‘rejeki’ dalam pengucapan informal) lazim-lazim saja.

Artinya, acapkali penyerapan kata-kata dari bahasa Arab tidak dapat berjalan sempurna di keseluruhan situasi.

Selain contoh kata ‘rezeki’ dan rizqi, saya melihat ada kata-kata lain yang secara resmi sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, namun acapkali sulit kita terapkan secara utuh dan konsisten. Situasi semacam itu umumnya terjadi dalam percakapan lisan. Dengan kata lain, kita lebih akrab dengan kata dalam bahasa aslinya alih-alih kata yang sudah diserap. Mengapa demikian?

Saya rasa, penyebabnya adalah populasi muslim yang mayoritas di Indonesia. Muslim penutur bahasa Indonesia akrab dengan kata-kata dari bahasa Arab, sebagai hasil dari pelajaran-pelajaran agama yang mereka ikuti. Sementara itu, ada seperangkat tata aturan dalam bahasa Arab, khususnya tajwid dan makharijul huruf. Yang pertama adalah cara membaca lafal dengan benar, yang kedua adalah cara mengucapkan huruf dengan benar. Jika tajwid dan makhraj salah, makna kata bisa berubah, khususnya jika yang sedang dibaca adalah ayat Alquran.

Nah, semua itu merasuk ke dalam kebiasaan seorang muslim dalam berbahasa, khususnya saat mengucapkan kata-kata tertentu.

Saya mengambil empat contoh kata yang sulit diucapkan seorang muslim dalam bentuk yang sudah terserap, yaitu salat, tawaduk, istikamah, dan rida. Keempatnya memang sudah resmi terpajang di KBBI. Masalahnya, akan muncul rasa kurang mantap bagi seorang muslim untuk mengucapkan kata-kata versi serapan itu secara lisan. Rasanya kurang afdal. Anda juga merasakannya?

Coba rasakan, seorang muslim yang taat rata-rata akan mengucapkan sholat alih-alih ‘salat’. Huruf shad dalam ‘sholat’ jelas berbeda dengan sin dalam ‘salat’. Mengucapkan kata ‘salat’ ketika topik obrolannya adalah agama, akan membuat kata itu terasa berkurang bobot keseriusannya, kehilangan kesakralannya.

Jika kata ‘salat’ secara sangat khusus terkait dengan ritual dasar dalam agama Islam, tiga kata yang lain lebih terkait moralitas umum. Meski demikian, tetap saja saya pribadi sebagai muslim merasa tidak puas mengucapkan tawaduk dengan ta.wa.duk. Lebih serius jika kata itu diucapkan dengan ta.wa.dlu’. Selain terasa kurang “islami”, kata ‘tawaduk’ juga terdengar menggelikan jika diucapkan secara tertib dalam aturan berbahasa Indonesia. Apalagi jika diplesetkan dengan nama-nama waduk di belakangnya, tentu lebih amburadul lagi. Tawaduk Gajah Mungkur atau tawaduk Kedungombo? Hahaha. Nggak lucu.

Kata ‘rida’ juga aneh. Ia tidak akan langsung membuat kita menangkapnya sebagai kerelaan hati (ridlo), dan lebih mengingatkan kita kepada nama perempuan (Rida Sita Dewi?). Kata ‘istikamah’ pun sama saja, sebab bunyi huruf qof pada istiqomah akan membuat pengucapnya lebih tampak saleh dan alim.

Yang lebih memusingkan lagi di antara semua itu adalah kata ‘Allah’ sendiri. Saya akan mengambil contoh salah satu penggunaannya, yakni kata ‘insyaallah’. Ini tak bisa main-main. Kalau mau konsisten dalam menjalankan tertib berbahasa, seharusnya kata itu pun diucapkan dengan ‘in.sya.al.lah’, bukan ‘in.sya.aw.loh’. Namun, bagi umat Islam, ini perkara yang sangat serius, sangat mendasar, berkaitan dengan prinsip keyakinan. Mustahil hanya demi ketertiban berbahasa Indonesia lantas seorang muslim mau mengucapkan ‘Al.lah’ alih-alih ‘Alloh’ (dibaca dengan bunyi ‘Aw.loh’).

Terus terang, saya sendiri selalu melanggar kaidah, baik secara lisan maupun tertulis. Tentu pelanggaran itu saya tempuh demi mempertahankan citra kesalehan pada diri saya (ehem!). Sembari itu, saya masih berharap Pusat Bahasa mencarikan jalan keluar atas kerumitan ini, sehingga standar penuturan bahasa Indonesia tidak mengabaikan sisi-sisi kesakralan, keyakinan, dan pandangan dunia para penuturnya.

error: Content is protected !!