Press "Enter" to skip to content

Malam Minggu Bukan Sabtu Malam

Last updated on January 20, 2019

Ya, judul itu benar. Di kampung kami, bapak-bapak bertugas meronda. Meskipun saya merasa masih mas-mas dan belum bapak-bapak (hahaha!), tetap saja Pak RT menjadwal saya.

Pada saat penerimaan warga baru, Pak RT menyebut ‘malam Minggu’ sebagai jadwal saya meronda.  Karena itu, alih-alih Minggu malam, saya datang pada Sabtu malam. Untunglah saya tidak salah jadwal, sebab malam Minggu memang berarti Sabtu malam, bukan Minggu malam.

Banyak orang tidak paham soal ini. Malam minggu kok Sabtu malam? Apel ke pacar kok malam Minggu, padahal waktu kedatangan biasanya Sabtu pukul 20.00, dan itu masih empat jam sebelum hari Minggu tiba!

Penjelasan soal ini saya baca dalam buku sejarawan Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya. Jadi, penyebutan ‘malam Minggu’ ini sebenarnya merupakan peninggalan sejarah. Secara khusus, ia terkait dengan sejarah administrasi pra-kolonial.

Sebelum Belanda menjajah kita dan menguasai segenap sektor kehidupan, terutama sektor administrasi pemerintahan, masyarakat Nusantara masih menggunakan sistem penanggalan yang berbeda-beda. Ada penanggalan Jawa-Islam, penanggalan Bali, penanggalan Batak, dan entah penanggalan mana lagi.

Nah, di Jawa, penanggalan Jawa-Islam yang ditetapkan sejak zaman Sultan Agung Raja Mataram memang mengacu kepada sistem penanggalan Hijriah alias Kamariah, yakni penanggalan berbasis bulan (bedakan dengan Masehi alias Syamsiah). Dalam penanggalan Kamariah tersebut, sebuah hari tidak dimulai dari tengah malam, melainkan selepas waktu magrib.

Sebenarnya tidak ada penjelasan khusus tentang kenapa awal hari adalah waktu magrib. Akan tetapi, ada hadis Nabi Muhammad yang menjelaskan tentang rukyat hilal, yaitu menengok bulan untuk melihat masuknya bulan baru. Diajarkan di situ bahwa aktivitas melihat bulan (‘bulan’ sebagai benda langit) untuk memastikan pergantian bulan (‘bulan’ sebagai rentang waktu kumpulan hari-hari) dilakukan selepas magrib.

Karena pergantian bulan otomatis merupakan pergantian hari, maka secara konsensus disepakati bahwa sebuah hari dimulai dari waktu magrib.

Kesepakatan dalam sistem penanggalan Kamariah tersebut terbawa ke dalam konsep pembagian waktu sehari-hari masyarakat Nusantara. Walhasil, malam Minggu diucapkan untuk menunjuk Sabtu malam, malam Senin menunjuk Minggu malam, dan seterusnya.

Kemudian, administrasi kolonial Belanda mengubah semuanya. Ada proses pembaratan besar-besaran. Sistem penanggalan yang digunakan secara resmi di Hindia-Belanda adalah penanggalan Barat alias Masehi. Karena penanggalan Masehi merupakan penanggalan Syamsiah alias berbasis matahari, maka sebuah hari dimulai pada tengah malam pukul 00.00.

Meskipun secara administratif formal sejak saat itu sebuah hari tidak lagi dimulai dari waktu magrib, pada praktiknya masyarakat Nusantara tidak dapat lepas dari tradisi lama. Khususnya dalam percakapan lisan.

Nah, hasilnya seperti kita ketahui bersama. Dalam surat-surat resmi tertulis, misalnya, kita diundang rapat pada Kamis Wage pukul 19.30 WIB. Namun dalam percakapan, sisa tradisi lama itu memunculkan nuansa tersendiri: “Pak, besok datang rapat ya, malam Jumat Kliwon!” Terasa ada seram-seramnya, gitu.

error: Content is protected !!