Last updated on August 8, 2020
Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober, yang biasanya kita peringati dengan memperbarui itikad membela Tanah Air, memajukan bangsa, dan mengembangkan bahasa persatuan, tahun ini berbeda corak penghayatannya. Sehari sesudahnya ada musyawarah akbar nasional yang dibuka presiden Indonesia, dihadiri menteri dan pejabat Indonesia.
Pendek kata, wakil semua pemangku kepentingan turut serta dan berjuta-juta warga masyarakat Indonesia jadi saksi lewat media massa. Walaupun tujuannya demi kemajuan Indonesia, pertemuan itu diberi nama Inggris yang perkasa: National Summit 2009. Padahal, pada bulan Juli 2009 oleh presiden yang sama diundangkan Undang-Undang Nomor 24 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Walaupun di dalamnya ada pasal 32 yang mewajibkan pemakaian bahasa Indonesia dalam forum yang bersifat nasional, pelanggaran terhadap pasal itu oleh siapa pun tidak dapat dipidana karena memang tidak ada sanksinya. Jadi, berbeda dengan ketentuan tentang bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan, ketentuan tentang bahasa nasional sekadar macan ompong.
Perlukah diajukan ujian materi ke Mahkamah Konstitusi?
Tambahan lagi, menurut kaidah tata bahasa Inggris yang baku, urutan kata dalam frasa mengikuti hukum M-D, bukan D-M. Bentuknya yang tepat: (The) 2009 National Summit. Banyak rakyat biasa yang tahu arti national, tetapi tidak dapat menebak makna summit. Untuk menguji dugaan saya, saya tanya sopir saya, Asep. Tanggapannya tidak mencengangkan, ”Kalau arti sumpit saya tahu, Pak, tetapi arti summit saya tidak tahu. Apa masih ada hubungan dengan Sumitomo?”
Karena jadi guru, saya merasa perlu menjelaskan berbagai makna kata summit kepadanya. Pertama, summit mengacu ke puncak gunung. Kedua, secara kias kata itu menunjuk ke titik atau capaian yang tertinggi; misalnya, puncak karier, puncak prestasi. Ketiga, kata summit merujuk ke pertemuan internasional sekumpulan kepala pemerintah, atau wakilnya, yang membahas perkara penting seperti perdamaian, perdagangan dan ekonomi dunia.
Seandainya kita kembali melaksanakan pasal 36 undang-undang dasar kita, seturut sumpah jabatan yang baru diucapkan di muka rakyat, dan memberi nama Indonesia kepada pertemuan itu, ada beberapa pilihan. Media pers senang pada konferensi tingkat tinggi dan musyawarah tokoh nasional. Di dalam kamus besar Pusat Bahasa, yang jarang dimiliki dan dibuka oleh birokrat kita, ada masukan rembuk (dengan k) nasional yang diberi makna ’musyawarah pemuka-pemuka bangsa’.
Apakah rembuk nasional, maaf, summit itu membuktikan lagi bahwa bahasa Indonesia belum jadi unsur jati diri kita?
Jika pemerintah dan DPR membulatkan hati akan meningkatkan pencerdasan kehidupan kita, maka yang diperlukan ialah keteladanan pemimpin bangsa dan pemuka masyarakat: harus memberi contoh memiliki sikap menghargai dan membanggakan bahasa Indonesia dan jangan memamerkan pengenalan bahasa Inggris di muka khalayak ramai.
KOMPAS, 6 Nov 2009. Anton M Moeliono. Munsyi, Guru Besar Emeritus Linguistik UI.