Last updated on January 20, 2019
Bahasa hidup dalam berbagai ceruk kehidupan manusia. Dalam komunikasi atau perbincangan sehari-hari, dalam hal-hal khusus semisal ritual keagamaan, dalam catatan-catatan tertulis resmi, dalam surat-surat, dan sebagainya.
Dewasa ini, bahasa hidup dalam lahan-lahan baru. Mulai dari media massa baik cetak maupun elektronik, tulisan apa pun di internet, tayangan apa pun di video Youtube, hingga pesan-pesan pendek di telepon genggam.
Di semua lapangan itulah bahasa hidup dan dihidupkan. Perkembangan suatu bahasa akan sangat tergantung pada dinamika yang terjadi dalam keseluruhan media tersebut. Jika di medan-medan itu sebuah bahasa berhasil ditata, maka bahasa itu akan menemukan kerapian, kedisiplinan, juga naiknya derajat kemampuan dalam membangun komunikasi. Sebaliknya, jika di sana sebuah bahasa tampil kacau balau, maka martabat dan gengsi sebuah bahasa akan anjlok.
Ada sebuah media lain yang belum saya sebut di atas, dan sudah berumur ribuan tahun, yang menjadi ajang bagi hidup dan dihidupinya sebuah bahasa. Media tersebut adalah tembang, nyanyian, lagu-lagu. Sepanjang sejarah peradaban, manusia tak dapat lepas dari lagu-lagu.
Dalam banyak hal, lagu-lagu ini memiliki efektivitas yang lebih tinggi dalam perawatan sebuah bahasa, jauh lebih tinggi daripada percakapan sehari-hari. Mengapa? Sebab kita mengucapkan ulang lirik lagu-lagu, terus-menerus mendendangkannya. Katakanlah ada satu lagu modern yang populer, maka ia akan dinyanyikan oleh jutaan orang, dan setiap orang dalam populasi jutaan itu akan menyenandungkannya sampai entah berapa ratus kali. Begitu terus, hingga kemudian muncul lagu lain yang akan membuatnya lupa lagu sebelumnya.
Maka, bayangkanlah jika ada sebuah lagu berbahasa Indonesia yang laris, meledak, namun diisi dengan lirik yang tidak pas, tidak logis secara bahasa, dan memunculkan kerancuan makna. Apa yang akan terjadi? Masyarakat penutur bahasa Indonesia lambat laun akan terpengaruh dan larut dalam amburadulnya nalar kalimat-kalimat di lagu tersebut. Lagu itu akan membuat bahasa Indonesia mengalami “kerusakan”.
Lalu, kapankah para pencipta lagu memiliki kepedulian bersama terkait terjaganya bahasa Indonesia?
Saya bertanya-tanya tentang hal itu karena kadang masih terbayang pekerjaan lama saya sebagai editor buku pelajaran sekolah. Bayangkan, dalam kondisi setiap saat harus menjaga tensi ketegangan dalam menjaga ketertiban berbahasa di buku-buku pelajaran, selama berminggu-minggu pernah saya menyaksikan bos saya memutar sebuah lagu Agnes Monica dan menyanyikannya pula.
Tentu tidak ada masalah dengan Agnes. Yang bermasalah adalah lirik dalam lagunya itu, yang berjudul “Tak Ada Logika”. Diiringi tabuhan drum yang keras, Agnes berteriak,
Cinta ini, kadang-kadang tak ada logika!
Tunggu, tunggu. Cinta ini tak ada logika? Itu subjeknya jelas, yaitu “cinta ini”. Lalu di mana predikatnya? Apakah “tak ada” merupakan predikat? Dalam lirik itu jelas bukan. Jika diucapkan “Cinta ini tak ada” saja, maka “tak ada” sudah sah menjadi predikat. Namun, “tak ada logika” justru membikin rancu, karena “logika” jadi mendesak posisi subjek. Objek bukan, subjek pun belum.
Maka, akan lebih baik andai Agnes mengubah sedikit lirik lagunya, menjadi salah satu di antara dua pilihan:
- • Cinta ini (S) kadang-kadang (K) tak punya (P) logika (O).
- • Dalam cinta ini (Ket. Waktu) kadang-kadang (Ket. Tempat) tak ada (P) logika (S).
Nah, logis dan masih tetap enak didengar, bukan?
Masih banyak sekali contoh lagu lainnya yang mengabaikan nalar berbahasa Indonesia. Semestinyalah muncul kesadaran bersama akan posisi penting lagu bagi perawatan bahasa Indonesia, sehingga para seniman musik lebih memerhatikannya.
Saat menuliskan ini tiba-tiba saya teringat akan seorang pengarang lagu legendaris, yang dulu menciptakan lagu-lagu bersama almarhum Elfa Secioria. Sang pengarang tersebut termasuk orang yang resah dengan kualitas bahasa dalam lagu-lagu Indonesia, lantas terobsesi untuk menciptakan lagu-lagu yang indah tanpa harus mengesampingkan kualitas bahasa Indonesia dalam lirik-liriknya.
Sayang sekali, saya agak lupa siapa namanya. Barangkali Anda tahu?
(IAD)
Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.