Press "Enter" to skip to content

Samurai: Prajurit atau Pedang?

Last updated on January 20, 2019

Hanya dengan membuka Google.com, lalu mengetikkan kata kunci “ditebas samurai”, kita akan segera melihat sekian puluh berita yang memunculkan frasa tersebut.

“Dibegal, Wanita Muda Ditebas Samurai di Cikurubuk”; “Diduga Ditebas Samurai, Pendukung Appi-Cicu Lapor Polisi”; “Ditebas Samurai Orang Tak Dikenal, Seorang Wartawan Terkapar”; “Nongkrong di Warung, Efran Ditebas Samurai”.

Sebagai alumnus Sastra Jepang yang tidak pandai berbahasa Jepang namun sedikit mempelajari budaya Jepang, perut saya terasa agak gatal membaca judul-judul tersebut. Sesuai yang kami pelajari dulu kala di bangku kampus, istilah ‘samurai’ sama sekali bukan merupakan penanda atas sejenis alat penebas. Jadi, bagaimana bisa para korban yang mengenaskan itu ditebasi dengan samurai?

Samurai adalah sebuah kelas sosial, kelompok masyarakat, yang memiliki kemampuan olah fisik pada masa feodal Jepang sebelum abad ke-19. Kaum samurai mengabdikan diri kepada tuan masing-masing, yakni para bangsawan penguasa tanah (daimyo), untuk menjalankan fungsi sebagai kekuatan militer. Itulah penjelasan resmi atas kata tersebut.

Meski demikian, pada perkembangan di tingkat penutur bahasa Indonesia, kata ‘samurai’ lambat laun mengacu kepada pedang yang dimiliki oleh para samurai. Kaum samurai memang selalu membawa kelengkapan standar kemiliteran yakni sebilah pedang panjang dan sebilah yang pendek. Pedang mereka begitu khas, dengan bahan khusus, dan dengan ketajaman yang termasyhur di seantero dunia.

Sebenarnya, istilah yang dipakai oleh orang Jepang sendiri atas pedang yang dimiliki kaum samurai itu adalah katana. Katana ya berarti pedang. Entahlah, apakah masyarakat penutur bahasa Jepang membedakan penyebutan antara pedang khas kaum samurai dengan pedang lain yang dimiliki oleh tradisi ketentaraan di negeri-negeri lain. Setahu saya sih tidak dibedakan. Makanya, menurut makna dasarnya, tetap saja yang disebut samurai adalah orangnya, dan katana adalah pedangnya.

Ketika budaya Jepang dikenal luas hingga ke negeri-negeri jauh, terutama sejak Peranng Dunia II, istilah samurai turut tersebar. Di Indonesia, pedang samurai akrab sekali dengan masyarakat kita pada zaman penjajahan Jepang. Catatan-catatan sejarah juga menyebutkan bahwa para tentara Peta yang berprestasi pada waktu itu akan mendapatkan hadiah pedang samurai dari tentara Jepang.

Dari situ mulai tampak bahwa unsur yang “masuk” ke dalam perbincangan kita dari samurai adalah pedangnya saja. Mungkin karena itulah, lambat laun terjadi proses penyempitan makna saat kata ‘samurai’ diucapkan dalam semesta percakapan bahasa Indonesia. Apa yang semula merupakan penyebutan sebuah kelas sosial saja, di belakang hari turut menunjuk kepada pedangnya.

Kamus Besar Bahasa Indonesia pun menyikapi perkembangan ini dengan membubuhkan dua makna pada lema ‘samurai’, yaitu:

sa.mu.rai

  1. n aristokrat Jepang dari golongan ksatria (prajurit)
  2. n pedang khas Jepang agak melengkung

Jadi, meski menurut makna asalnya kata ‘samurai’ hanya cocok dengan arti nomor 1, dalam bahasa Indonesia saat ini sah-sah saja kita mengatakan “disabet samurai”, sebab memang diakui ada dua makna pada kata itu. Kasus memang khusus di bahasa Indonesia saja, sebab masyarakat penutur bahasa Inggris hanya mengakomodasi istilah samurai sebagai penunjuk kelas sosial (periksa saja kamus Oxford dan Cambridge, misalnya.)

Namun pesan saya, sebisa mungkin hindari kalimat seperti ini: “Dalam film Akira Kurosawa itu, seorang samurai menyabetkan samurai kepada samurai lain.” Rasanya kurang enak.

Content Disclaimer

The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.

error: Content is protected !!