Last updated on January 20, 2019
Sebagai seorang penghuni musala kampus, sejak SMA hingga masa kuliah saya sering terpapar oleh lagu-lagu nasyid. Saya sendiri lebih suka lagu Iwan Fals, tapi karena lingkungan saya penggemar nasyid, mau tak mau khazanah lirik-lirik nasyid menempel juga di ingatan saya.
Salah satu lirik nasyid yang saya ingat betul adalah milik grup Raihan, asal Malaysia. Judul lagunya “Bismillah”. Simak baik-baik.
Dimulakan dengan bismillah
Disudahi dengan alhamdulillah
Begitulah sehari dalam hidup kita
Mudah mudahan dirahmati Allah
Mulakanlah kerja dengan niat yang satu
Untuk mendapatkan keredoannya
…dan seterusnya.
Tentu saja lirik tersebut berbahasa Malaysia. Meski demikian, kita tahu akar bahasa Malaysia sama dengan Indonesia. Logika-logika berbahasanya pun lebih kurang masih sama.
Nah, saya tercenung waktu mendengar kata dimulakan pada awal lagu, dan mulakanlah pada bait kemudian. Klausa “dimulakan dengan bismillah” masih dapat kita tangkap maknanya, sebab kita paham benar bahwa maksud alias terjemahannya dalam bahasa Indonesia adalah “dimulai dengan bismillah”.
Pertanyaannya, kenapa di Indonesia diucapkan dengan ‘dimulai’, sementara di Malaysia dengan ‘dimulakan’? Kenapa sama-sama memakai kata mula?
Dari situlah terbongkar satu fakta rahasia yang selama ini ditutup-tutupi (tenang, kali ini Fremason tidak terlibat), yakni bahwa sesungguhnya kata dasar dari mulai adalah ‘mula’, persis dengan kata mulakan.
Coba renungkan. Mulakan terbentuk dari “mula + kan”. Saya tidak tahu apa makna atau fungsi akhiran -kan dalam bahasa Malaysia. Namun dari konteks lirik lagu tersebut, akhiran -kan di situ mengandung makna perintah. Bukankah kurang lebihnya sama dengan akhiran -i dalam bahasa Indonesia?
Dalam bahasa kita, ada banyak contoh akhiran -i yang bermakna perintah. Misalnya duduki, tutupi, tulisi, gambari, pukuli, dan potongi. Khusus kata pukuli dan potongi memang mengandung kesan perbuatan berulang-ulang, namun tetap saja ia berfungsi sebagai kata perintah.
Jadi, sesungguhnya kata mulai yang kita kenal selama ini merupakan hasil bentukan “mula + i”. Sayangnya, kita sering tidak menyadarinya. Ketika komandan upacara mengucapkan, “Mengheningkan cipta, mulai!” kita paham maksudnya, namun kita tidak merasa bahwa perintah yang ia ucapkan merupakan bentuk kalimat perintah agar kita mengambil titik “mula” atas aktivitas mengheningkan cipta.
Dalam refleks bertutur selama ini, kita telanjur menganggap kata mulai sebagai kata dasar yang berdiri sendiri. Tak heran, di dalam KBBI pun lema mulai diposisikan sebagai kata dasar.
mu.lai
- v mengawali berbuat (bertindak, melakukan, dan sebagainya): orang-orang sudah hampir selesai, kita baru —
- p sejak: penataran berlangsung — tanggal 5–18 Januari tahun ini
Simak, suku kata pembentuk lema mulai adalah mu.lai, bukan mu.la.i. Ini penyangkalan atas posisi -i sebagai akhiran. Simak juga contoh kalimatnya pada nomor 1. “Orang-orang sudah hampir selesai, kita baru mulai.” Kata mulai di situ jelas kata dasar, karena jika kita posisikan huruf i sebagai akhiran, bentuknya akan jadi “Orang-orang sudah hampir selesai, kita baru memulai.”
Adapun dalam bentuk memulai dan dimulai, kita masih bisa melihat jejak-jejak sejarah bahwa huruf i di situ merupakan akhiran. Artinya pun akan sama saja, baik “me + mulai” maupun “me + mula + i”.
Jika Anda masih tidak yakin bahwa kata mulai sebenarnya bukan kata dasar, coba lihat sinonim dari mula, yakni awal. Ucapkan kata perintahnya: “Awali!”. Sesuaikan juga kalimat di KBBI tadi dengan kata awal. Hasilnya seperti ini: “Orang-orang sudah hampir selesai, kita baru mengawali.”
Langsung terasa, kan, betapa mula = awal, dan mulai = awali?
Memang, nasi telah menjadi bubur. KBBI telanjur menyebut mulai sebagai kata dasar dengan kelas kata verba dan preposisi. Di saat yang sama, kata mula juga masih ada, namun dengan kelas kata nomina saja.
Saya membayangkan, bakal sedikit lebih enak kalau lema dalam KBBI cukup mula saja, dengan kelas kata baik verba, preposisi, maupun nomina. Selanjutnya, kata mulai dipahami sebagai mula + i, sehingga kalimat “Kita baru mulai” ditertibkan dengan “Kita baru memulai”, dan klausa “mulai sekarang hingga selamanya” ditata ulang menjadi “sejak sekarang hingga selamanya”.
Itu usul saya, sih. Tapi siapalah saya, kok berani usul-usul segala….
(IAD)
Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.