Last updated on January 20, 2019
Dalam canda sehari-hari di antara para lelaki bujangan, lazim kita dengar ucapan seperti ini: “Kasihan kamu ya Fan, nggak ada yang ngurusin, pakai kolor aja side A side B ya kamu hahaha!”
Orang dari generasi saya biasanya langsung paham lelucon seperti itu. Maksudnya, Si Toffan tidak sempat mencuci celananya, sampai-sampai hari ini dia memakai celana kolor dengan normal di satu sisi alias side A, dan esok harinya dia balik celana itu jadi side B. Jadi satu celana kolor dia pakai dua hari saking joroknya.
Lelucon seperti itu bisa jadi tak akan bertahan lebih lama lagi. Sebabnya, ia lahir dari analogi yang muncul di zaman kaset. Kaset yang dimainkan di tape recorder memiliki dua sisi, yakni sisi A dan sisi B, biasa disebut dalam percakapan dengan side A dan side B.
Nah, zaman kaset telah berlalu, digantikan zaman CD dan DVD. Bahkan sekarang pun DVD mulai ditinggalkan, karena media USB lebih praktis. Lantas, bagaimana nasib generasi yang bahkan dalam hidupnya belum pernah sekali pun melihat makhluk bernama kaset, sehingga mereka sama sekali tidak paham apa itu side A side B? Ingat, flashdisc tidak punya side A dan side B!
Bahasa bukan sekadar seperangkat simbol bunyi. Ia juga cermin budaya penuturnya. Kata-kata dalam suatu bahasa muncul dari realitas sehari-hari yang dijumpai penutur bahasa tersebut. Itulah sebabnya dalam bahasa Indonesia dikenal kata padi, beras, dan nasi. Sementara itu, dalam bahasa Inggris hanya dikenal kata rice untuk menunjuk baik padi, beras, maupun nasi. Wajar saja demikian, sebab tradisi masyarakat Anglo Saxon tidak lekat dengan padi, melainkan dengan gandum. Saya yakin ada istilah-istilah perganduman yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia.
Kita kembali ke kaset. Masyarakat penutur bahasa Indonesia seangkatan saya ke atas memang mengenal kaset sebagai artefak sejarah masa lalu. Namun, generasi milenial tidak mengenalnya sama sekali. Pertanyaannya, apakah ungkapan “celana kolor side A side B” akan segera lenyap, atau menemukan penggantinya? Atau, ia akan tetap bertahan karena masih banyak orang yang menuturkannya, sembari abai bahwa orang yang diajak bercanda tidak memiliki “cantolan budaya” dan “cantolan sejarah” apa pun kepada pemahaman atas asal-muasal side A dan side B?
Mari kita amati bersama. Alangkah mengasyikkannya jika kita bersama-sama mengamati perkembangan bahasa Indonesia, dan bersama-sama pula menyayanginya. Ehem.