Last updated on January 20, 2019
Saya menemukan beberapa kata menarik dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Bisa jadi kata-kata tersebut bukan “milik” Pram seorang, namun merupakan kata-kata bahasa Indonesia yang hidup pada masa Pram. Tiga yang paling saya ingat di antaranya adalah kata harmal, terkebelakang, dan mengibakan. Kali ini, saya cuma mau membicarakan kata yang kedua, yaitu terkebelakang.
Pram menulis kata terkebelakang dalam konteks-konteks yang sama dengan kita hari ini ketika mengucap terbelakang. Seorang anak yang terkebelakang, bangsa yang terkebelakang, dan sebagainya. Subjek-subjek tersebut berada dalam kondisi buruk dan belum meraih kemajuan.
Awalnya, saya merasa ribet banget mengucapkan kata tersebut. Namun, lama-lama ketemu jugalah logikanya.
Begini penjelasannya. Kata terbelakang berasal dari kata dasar belakang, lalu mendapatkan awalan ter-. Sementara itu, awalan ter- memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi yang paling menonjol adalah: menyatakan tingkatan (terbesar, tertinggi); menyatakan sesuatu dalam kondisi dapat di- (terbaca, tergambar); menyatakan perbuatan yang tidak disengaja (terinjak, tersayat); menyatakan keadaan yang tiba-tiba (terbangun, teringat); dan menyatakan kondisi pasif (tertata, tersaji).
Dengan memahami fungsi-fungsi umum dari awalan ter- sebagaimana di atas, lantas mau kita tempatkan pada fungsi apakah awalan ter- pada terbelakang? Coba kita ambil contoh saja, ketika saya mengucapkan “Desa saya masih terbelakang.”
Nah, apakah dengan kalimat itu saya hendak mengatakan bahwa desa saya ada dalam posisi atau situasi paling belakang? Tidak, bukan itu yang saya maksudkan. Sementara itu, jika saya hendak menempatkannya pada fungsi “menyatakan kondisi pasif”, kata belakang bukan merupakan kata kerja. Pasif dan aktif terkait dengan posisi-posisi kata kerja, bukan?
Kita pun tidak bisa memperlawankan antara terbelakang dengan kata terdepan. Kata terdepan sudah jelas maknanya ‘paling depan’, misalnya pada kalimat “China dan Amerika memperebutkan posisi terdepan dalam penguasaan senjata.”
Dari situlah, saya semakin yakin bahwa kata terbelakang tidak cukup logis, dan tidak cukup sinkron antara pembentukan kata tersebut dengan makna yang hendak dimunculkan.
Titik terang sedikit ketemu pada cara Pram mengucapkannya: terkebelakang. Dalam kata itu ada unsur awalan ter + ke + belakang. ‘Ke belakang’ lebih mendekati bentuk kata kerja daripada sekadar ‘belakang’. Kita bisa langsung membandingkannya dengan kata dikesampingkan, yang terbentuk oleh di + ke + samping + kan. Ada makna pasif di situ, yakni semacam ‘digeser ke samping’. Kasus yang sama ada pada dikedepankan.
Masalahnya, jika kita ingin membandingkannya dengan dikesampingkan atau terkesampingkan, juga dengan dikedepankan atau terkedepankan, semestinya bentukan kata finalnya bukan terkebelakang, melainkan terkebelakangkan. Dalam terkebelakangkan, nuansa makna yang muncul adalah ‘sesuatu disingkirkan (dengan sengaja) ke belakang’.
Pertanyaannya, pada ungkapan “daerah (yang masih) terbelakang”, misalnya, makna yang muncul apakah ‘daerah yang digeser ke posisi belakang’, ataukah ‘daerah yang masih berada di posisi belakang dan belum berhasil beranjak ke depan’?
Saya lebih cocok dengan makna yang kedua. Karena itu jugalah kata terkebelakangkan tidak pas, dan kata terbelakang yang selama ini biasa kita ucapkan itu tidak memenuhi tuntutan nalar pembentukan kata. Maka, di antara ketiga pilihan, kata yang diucapkan oleh Pramoedya yakni terkebelakang paling mendekati makna yang dimaksudkan. Anda sepakat?
Eh, sebentar. Kalau ada kata terkebelakang, semestinya ada kata terkedepan, dong! Maknanya adalah semacam ‘situasi berkemajuan’. Nah, coba kita bereksperimen dengan mengucapkan kalimat ini:
Dunia sepak bola Indonesia sudah terkedepan.
Mungkinkah kita mengucapkannya? Rasanya masih kurang begitu nyaman, bukan? Meskipun begitu, saya menduga bahwa ketidaknyamanan itu terjadi bukan karena kata terkedepan di sana, melainkan karena dunia sepak bola kita ya memang masih begini-begini saja hahaha!