Last updated on January 20, 2019
Ketidakpahaman publik atas kelirunya pengertian antara ‘tolak ukur’ dan ‘tolok ukur’ itu masih terus berlangsung. Lihat di Google, misalnya:
IPM sebagai Tolak Ukur dalam Melihat Kesejahteraan Rakyat (rmoljabar.com)
Pendidikan dan Kesehatan, Tolak Ukur Pembangunan Ekonomi (media-bhayangkara.com)
Karena Nilai Tidak Selalu menjadi Tolak Ukur Keberhasilan Sekolah (hipwee.com)
5 Tolak Ukur Mengukur Kepuasan Pelanggan (investmedan.com)
Banyak sekali, ya. Hehehe. Itu semua berita-berita dan artikel yang belum lama tertayang di media daring. Ini agak aneh, mengingat kata tolak artinya jelas, yakni menolak, menyangkal, mendorong. Dengan arti seperti itu, lantas apa makna ‘tolak ukur’?
Sebelum ini, kita sudah membahas salah satu kesalahan lazim dalam penulisah ‘ditahbiskan‘ menjadi ‘ditasbihkan‘. Banyak orang tidak kenal kata tahbis, karena sudah terlalu sering mendengar tasbih.
Nah, kali ini, kasusnya pun sama. Karena orang telanjur akrab dengan kata tolak, maka ketika membaca atau mendengar kata tolok, dikiranya itu tolak. Akibatnya, bahkan dalam tulisan pun kata ini muncul sembarangan.
Saya yakin, banyak yang membayangkan bahwa frasa ‘tolak ukur’ berarti titik mula untuk mengukur sesuatu. Nah, dalam kasus semacam itu, kerancuan terjadi, karena yang mereka maksudkan pastilah frasa ‘titik tolak’.
Adapun ‘tolok ukur’ mengandung kata tolok. Mari kita lihat KBBI Daring. Ada tiga makna tolok di situ, namun yang paling relevan hanya makna pertama.
to.lok.
n banding; imbangan (yang sama); tara: tiada- nya : tiada bandingannya
Dengan melihat makna kata tolok, kita langsung paham bahwa ‘tolok ukur’ mengandung arti “ukuran pembanding”. Maka, jika semua frasa ‘tolak ukur’ dalam judul-judul artikel daring di atas tadi diganti dengan ‘tolok ukur’, maknanya menjadi semacam “Karena Nilai Tidak Selalu Menjadi Ukuran Pembanding Keberhasilan Sekolah”; “Pendidikan dan Kesehatan, Ukuran Pembanding bagi Pembangunan Ekonomi”.
Kira-kira seperti itu. Jika Anda tidak setuju dengan penjelasan ini, silakan saja menolok, eh, menolak. Dari situ kita akan berdiskusi lebih lanjut.
(IAD)
Tentang penulis: Iqbal Aji Daryono adalah bapak dua anak, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Ia mengawali kedekatannya dengan dunia teks sejak masa kuliah, yakni ketika menjadi redaktur bahasa di pers mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Selepas kuliah, empat tahun dijalaninya sebagai penyunting di sebuah penerbit buku-buku pelajaran untuk anak sekolah, lalu empat tahun setelahnya lagi ia menjalankan bisnis penerbitannya sendiri. Saat ini, aktivitas utamanya adalah menulis kolom di media-media daring.
Content Disclaimer
The content of this article solely reflect the personal opinions of the author or contributor and doesn’t necessarily represent the official position of Bahasa Kita.